Senin, 14 November 2011

Proposal Disertasi Bapak Doktor Ali Asmar ( SEKDA PROV SUMBAR )

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan, karena pendidikan berperan untuk menciptakan generasi yang cerdas, membangun kehidupan yang damai, terbuka, dan demokratis. Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Untuk meraih hal tersebut, pendidikan harus adaptif terhadap perubahan zaman.
Memasuki abad ke-21 ini, kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia  sangat tidak kompetetif. Menurut catatan Human Development Report tahun 2003 (?) versi United Nation Development Project (UNDP), kualitas SDM atau Human Development Index (HDI) Indonesia berada pada peringkat ke-112 dari 138 negara yang disurvei. Indonesia berada jauh dibawah Filipina (85), Thailand (74), Malaysia (58), Brunei Darussalam (31), Korea Selatan (30), dan Singapura (28). Sementara itu, Third Mathematics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan matematika siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Indonesia berada di urutan ke-34, dan kemampuan IPA berada di urutan ke-32 dari 38 buah negara yang disurvei. Kondisi ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan kita memang memprihatinkan. Oleh sebab itu pembaruan pendidikan harus terus dilakukan.
Dalam konteks pembaruan pendidikan ada tiga isu utama yang perlu disoroti yaitu: (1) pembaruan kurikulum, (2) peningkatan kualitas pembelajaran, dan (3) efektivitas metode/pendekatan pembelajaran. Kurikulum pendidikan harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial, relevan,  tidak overload, dan mampu mengakomodasi keperluan dan kemajuan teknologi. Selanjutnya, kualitas pembelajaran harus  ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Secara mikro harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, dan yang lebih  memberdayakan potensi siswa.
Berbagai usaha telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Salah satunya adalah penyempurnaan kurikulum. Saat ini pemerintah sedang menerapkan  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).  Penyempurnaan kurikulum harus dilakukan untuk merespon tuntutan terhadap kehidupan berdemokrasi, globalisasi, dan otonomi daerah. Di era yang akan datang, fungsi pendidikan diperluas mencakup hak azasi manusi yang mendasar, modal ekonomi, sosial dan politik; alat pemberdayaan kelompok yang kurang beruntung, landasan budaya dmai dan sebagai jalan utama menuju masayarakat belajar sepanjang hayat. Atas dasar pemikiran tersebut, kurikulum perlu dikembangkan dengan pendekatan berbasis kompetensi, agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Dengan kompetensi sebagai dasar pengembangan kurikulum, akan dijamin adanya fleksibilitas dalam mencapai penguasaan kompetensi, Pendekatan ini menekankan  identifikasi kompetensi dasar setiap bidang studi yang indikator-indikatornya dapat membantu guru menentukan strategi dan teknik pengajarannya. Di samping itu, kompetensi dasar dan indikator-indikatornya akan membantu siswa memahami apa yang harus mereka kuasai.
Dengan KTSP, lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap kepentingan daerah dan karakteristik peserta didik serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kurikulum yang berdiversifikasi. Dilihat dari tujuannya, KTSP ingin memusatkan diri pada pengembangan seluruh kompetensi siswa, dan mereka dibantu agar kompetensinya muncul dan dikembangkan semaksimal mungkin. Implementasi KTSP  menghendaki agar pembelajaran mampu membawa siswa memasuki kawasan pengetahuan dan penerapannya, sehingga kompetensi siswa (ability, skill, dan knowledge) mereka akan berkembang melalui proses pembelajaran.

Terkait dengan bidang studi Matematika, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dinyatakan empat fungsi pembelajaran matematika di SD, yaitu:
1.      Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan.
2.      Mengembangkan aktifitas yang kreatif dengan melibatkan imajinasi, intuisi, dan rasa ingin tahu.
3.      Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, dan
4.      Mengembangkan kemampuan komunikasi, terutama menyampaikan gagasan (ide) dengan lisan, catatan grafik, ataupun bentuk lainnya (Depdiknas, 2006).
Pencapaian tujuan tersebut diuraikan dalam bentuk kompetensi dasar  berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Hingga saat ini latihan keterampilan bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi belum membudaya. Kebanyakan siswa terbiasa melakukan kegiatan belajar dengan mendengar penjelasan guru, menyalinnya, lalu menghafalkannya. Akibatnya, kebanyakan siwa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataaanya mereka seringkali tidak memahami secara substansi materinya.  Fakta  menunjukkan bahwa sebahagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan.  Siswa mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan  prinsip dalam matematika karena siswa diajar dengan sesuatu yang abstrak dan dengan cara penyampaian yang cendrung satu arah atau teacher centred.
Dewasa ini metode mengajar chalk and talk (ceramah dan mencatat) masih mendominasi pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD). Akibatnya sebagian siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep matematika yang mereka pelajari, karena apa yang dipelajari bersifar abstrak dan tidak terkait dengan pengalaman yang mereka peroleh dari kehidupan sehari-hari. Salah satu penyebab dari permasalahan ini adalah kurangnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam menyusun, mengembangkan materi ajar, memilih dan menerapkan pendekatan mengajar yang mampu menarik minat siswa untuk belajar matematika. Di samping itu buku teks yang tersedia pada umumnya juga  mendorong guru untuk mengajar matematika secara “mekanistik” dan “algoritmik”.
Penafsiran yang kurang tepat tentang matematika modern, terutama oleh pengembang kurikulum dan guru, mengakibatkan proses pembelajaran matematika berlangsung secara mekanistik (Fauzan,2006). Pada pembelajaran yang mekanistik, proses pembelajaran dimulai dengan guru menerangkan algoritma disertai beberapa contoh, kemudian siswa mengerjakan latihan sesuai dengan contoh yang diberikan guru. Siswa hampir tidak pernah diberi kesempatan oleh guru untuk mengkonstruksi pemahamannya tehadap materi yang mereka pelajari. Guru lebih cendrung untuk meminta siswa mengingat ”langkah-langkah” atau cara-cara yang mereka ajarkan dalam memecahkan soal, daripada mendorong dan memfasilitasi mereka untuk menyusun pengetahuan. Akibatnya, pengetahuan yang diperoleh siswa kurang  bermakna dan cepat terlupakan.
Berdasarkan  hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan beberapa orang guru SD di Kota Padang Panjang juga terungkap bahwa pembelajaran matematika masih cendrung berlangsung satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Umumnya, pola pembelajaran pada setiap pertemuan yang diterapkan oleh guru adalah: menjelaskan materi pelajaran, memberikan contoh-contoh penerapan, memberikan latihan, dan di akhir pembelajaran guru memberikan pekerjaan rumah (PR). Pola pembelajaran seperti ini disebut pembelajaran konvensional. Pada kegiatan pembelajaran seperti ini siswa bersifat pasif, guru mendominasi kegiatan kelas, dan pembelajaran terpusat pada guru.
Perhatian guru dalam pola pembelajaran konvensional lebih banyak tercurah pada ketuntasan penyampaian materi. Dampak dari pembelajaran  yang berpusat pada guru, adalah sebagian besar siswa bersikap pasif dalam mengikuti pembelajaran. Mereka tidak mampu/berani untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang mereka miliki. Dalam satu kali pertemuan hanya satu atau dua orang siswa saja yang berani bertanya atau mengemukakan pendapat.
Dengan metode seperti ini jelas pembelajaran yang dilaksanakan kurang bermakna, dan tidak jarang suatu konsep matematika hanya dipahami sebagai hafalan (bukan sebagai pengertian). Akibatnya, konsep tersebut mudah dilupakan dan bahkan sering suatu konsep matematika dipahami secara keliru oleh siswa. Semua ini pada akhirnya menyebabkan siswa tidak mampu  menerapkan dengan baik konsep-konsep yang telah dipelajarinya dalam menyelesaikan soal-soal latihan.
Permasalahan yang diuraikan di atas, diperburuk lagi kondisi bahan ajar (buku teks) yang digunakan guru, yang tidak mendukung untuk penciptaan suasana belajar yang kondusif. Buku teks lebih banyak digunakan sebagai buku pegangan guru, dan mereka  meyajikan pelajaran persis sama dengan apa yang ada pada buku teks. Guru belum merancang perangkat pembelajaran yang mampu mengakomodasi kebutuhan siswa untuk belajar secara aktif. Selanjutnya juga dapat dilihat buku teks yang beredar belum memfasilitasi siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Isi buku lebih banyak ditekankan pada penjelasan rinci dari sebuah konsep, kemudian diikuti dengan contoh soal dan sejumlah soal-soal latihan. Uraian yang ada pada buku teks cendrung membuat siswa menghafal, tanpa memahami untuk apa mereka mempelajarinya, karena materi yang disajikan kurang terkait dengan dunia nyata siswa.
Paradigma pembelajaran kontemporer menyatakan bahwa fungsi pembelajaran matematika bukan sebagai pengembangan keterampilan belaka tetapi harus memenuhi empat prinsip yaitu: matematika sebagai alat untuk mengembangkan penalaran, mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, alat komunikasi dan penghubung antar disiplin ilmu (NCTM, 2001).
Untuk menyikapi persoalan ini penulis  menyakini perlu dilakukan upaya pengembangan perangkat pembelajaran berdasarkan teori kognitif, yang di dalamnya termasuk teori konstruktivis. Menurut teori konstruktivis, keterampilan berfikir (penalaran),  memecahkan masalah, dan berkomunikasi dapat dikembangkan jika siswa melakukan sendiri, menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan yang ada (Slavin, 1994).
Konstruktivisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak serta merta (Steffe, 1991). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan jika dikehendaki informasi tersebut menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar pemikiran seperti dijelaskan di atas, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” dan bukan menerima pengetahuan. Agar proses mengkonstruksi berlangsung optimal diperlukan sarana yang sesuai dan relevan dengan keragaman siswa, kondisi lingkungan dan tujuan pembelajaran matematika. Paradigma pembelajaran matematika kontemporer menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah untuk melatih cara berfikir dan bernalar, mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Sarana utama untuk mencapai tujuan tersebut adalah tersedianya perangkat pembelajaran yang memungkinkan siswa berlatih untuk berfikir, bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi.
Dalam kelas konstruktivis, seorang guru tidak mengajarkan kepada siswa bagaimana menyelesaikan persoalan, tetapi mempresentasikan masalah dan men mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah (Kamii, 1990). Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak memberikan penilaian apakah jawabannya benar atau salah. Namun guru mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju dengan saling bertukar ide sehingga sampai pada suatu persetujuan tentang apa yang dapat masuk akal bagi siswa. Dengan pendekatan konstruktivis, aktivitas matematika dapat diwujudkan melalui penyajian masalah, kerja berpasangan, atau dalam kelompok kecil serta diskusi kelas. Jadi dalam pendekatan konstruktivis pembelajaran harus dirancang dengan pendekatan problem solving, yang mana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika. 
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti berdiskusi dengan guru-guru di  SD diperoleh informasi dan fakta bahwa mereka belum terampil dalam menyusun perangkat pembelajaran yang berorientasi konstruktivis. Oleh sebab itu hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi model bagi guru matematika dalam menyiapkan dan menyelenggarakan pembelajaran yang lebih bermakna.
Guna memperoleh perangkat pembelajaran matematika yang memungkinkan siswa berlatih berfikir, bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi, perlu dipenuhi minimal  tiga kriteria yaitu: (1) validitas, (2) praktikabilitas, dan (3) efektivitas.
Validitas merujuk pada ketepatan perangkat dalam mengukur apa yang dinginkan (Sukardi, 2004). Secara metodologis, validitas perangkat yang akan disusun harus memenuhi kriteria valid dari segi  isi (content validity) dan konstruk (construct validity).
Validitas isi dan validitas konstruk pada umumnya ditentukan melalui pertimbangan para pakar. Tidak ada  formula matematis untuk menghitung dan cara menunjukkannya secara pasti. Pertimbangan ahli dilakukan dengan cara sebagai berikut: Pertama, para pakar dimintauntuk mengamati secara cermar semua isi perangkat, kemudian para ahli mengoreksi perangkat, dan pada akhir perbaikan para ahli diminta untuk memberikan pertimbangantentang bagaiaman perangkat tersebut mencakup isi dan susunan yang sesuai dengan tujuan yang dinginkan.
 Perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dikatakan valid atau mencerminkan “state of the art knowledge” jika perangkat tersebut oleh pakar pendidikan matematika dan pakar disain pembelajaran dinyatakan layak dari segi isi dan konstruksi serta potensial untuk meningkatkan hasil dan motivasi belajar matematika siswa.    
Praktikabilitas suatu perangkat pembelajaran merujuk pada  kemudahan dalam penggunaannya (Sukardi, 204). Perangkat  matematika berorientasi konstruktivisme dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi,  jika siswa dan guru dapat menggunakannya sesuai dengan kriteria yang diharapkan (tanpa kendala yang berarti). Selanjutnya efektivitas perangkat pembelajaran diukur melalui pencapaian hasil belajar matematika yang diperoleh siswadan motivasi belajar mereka. Jadi perangkat pembelajaran  matematika berorientasi konstruktivisme dikatakan efektif jika dapat meningkatkan hasil dan motivasi belajar matematika siswa. 
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan yang muncul dapat diidentifikasi sebagai berikut:
    1. Siswa belum mampu menggunakan  materi yang dipelajari pada situasi nyata
    2. Proses pembelajaran matematika yang terjadi cedrung mekanistik dan  belum memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan bernalar, memecahkan  masalah, dan berkomunikasi.
    3. Buku teks yang tersedia cendrung membuat siswa menghafal, tanpa memahami untuk apa mereka mempelajarinya, karena materi yang disajikan kurang terkait dengan dunia nyata siswa
    4. Kemampuan guru untuk merancang  perangkat pembelajaran yang memungkinkan siswa berlatih untuk berfikir, bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi masih sangat terbatas
    5. Hasil belajar matematika siswa pada umumnya masih rendah.

C.    Batasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, masalah yang muncul perlu dibatasi agar penelitian yang akan dilakukan lebif fokus, dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Adapun batasan masalah  yang perlu dikemukakan adalah sebagai berikut:
1.      Terbatasnya sumber pembelajaran matematika yang tersedia di lapangan,  yang dapat memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan, dan  
2.      Terbatasnya kemampuan guru untuk merancang perangkat pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan matematis siswa, sehingga hasil belajar matematika siswa pada umumnya masih rendah.
D.    Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang, dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.      Bagaimanakah validitas perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme yang dikembangkan untuk siswa kelas 5 SD di Kota Padang Panjang?
2.      Bagaimanakah kepraktisan perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme yang dikembangkan untuk siswa kelas 5 SD di Kota Padang Panjang?
3.      Bagaimanakah efektifitas perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme yang dikembangkan untuk siswa kelas 5 SD di Kota Padang Panjang?
Terkait dengan efektifitas penggunaan perangkat, masalah yang telah dirumuskan selanjutnya dirinci menjadi beberapa sub-rumusan masalah, yaitu:
1.      Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelompok tinggi yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model Pembelajaran kooperatif atau  Cooperative Learning, pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Instruction (PBI), dan  pembelajaran langsung atau Direct Instruction (DI), dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional?
2.      Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelompok sedang yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional?  
3.      Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelompok rendah yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional?  
4.      Apakah terdapat perbedaan motivasi belajar siswa kelompok tinggi yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional?  
5.      Apakah terdapat perbedaan motivasi belajar siswa kelompok sedang yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional?  
6.      Apakah terdapat perbedaan motivasi belajar siswa kelompok rendah yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional?   
E.     Tujuan Penelitian
Berdasarkan produk penelitian yang akan dihasilkan, maka  secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran matematika berorientasi  konstruktivis yang valid, praktikal, dan efektif. Perangkat pembelajaran yang akan disusun berupa Handout, Rencana Pelaksanaan  Pembelajaran (RP), dan Lembaran Kerja Siswa (LKS) dengan karakteristik konstruktivis. Selanjutnya, produk yang dihasilkan diimplementasikan dengan menggunakan model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, dimana pendekatan ini memiliki filosofi konstruktivis. Model pembelajaran kontekstual yang akan digunakan adalah; model pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran langsung.  Secara lebih rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui, bagaimanakah validitas, praktikabilitas, dan efektivitas perangkat pembelajaran matematika konstruktivis yang dihasilkan
2.      Untuk mengetahui  perbedaan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model Pembelajaran kooperatif,  pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Instruction (PBI), dan  pembelajaran langsung atau Direct Instruction (DI), dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaan tersebut akan dilihat  pada setiap  kelompok siswa yaitu: tinggi, sedang, dan rendah
3.      Untuk mengetahui  perbedaan motivasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional, pada setiap kelompok siswa, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah.
F.     Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai bekal pengetahuan, dan pengalaman bagi penulis untuk membantu upaya peningkatan mutu pembelajaran  matematika di SD
2.      Dihasilkannya perangkat pemebelajaran matematika berorientasi konstruktivis yang valid, praktis, dan efektif
3.      Guru memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam menyusun perangkat pembelajaran matematika berorienatsi konstruktivis.
4.      Siswa memperoleh pengalaman belajar matematika yang lebih bermakna, karena mereka memperoleh kesempatan untuk  berlatih mengembangkan cara berfikir logis, bernalar, mengembangkan  kemampuan pemecahan masalah, dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi.
5.      Sumbangan pemikiran bagi program studi Ilmu Pendidikan, dalam mengembangkan berbagai bentuk penelitian pengembangan, khususnya bidang pembelajaran matematika

G.    Abstrak Rencana Penelitian
Penulis merencanakan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran berorientasi konstruktivis untuk siswa kelas V SD. Pengembangan perangkat tersebut mengacu kepada model-model pembelajaran kontekstual, misalnya: model pembelajaran koperatif, model pembelajaran berbasis masalah, dan model pembelajaran langsung. Perangkat yang dihasilkan diharapkan dapat membantu guru dalam melaksanakan pendekatan pembelajaran kontekstual yang merupakan ”nafas” dari KTSP. Metode penelitian yang akan digunakan adalah penelitian pengembangan atau devlopmental research.
Penelitian akan difokuskan untuk menghasilkan perangkat pembelajaran berorientasi konstruktivis yang valid, praktikal, dan efektif. Kegiatan penelitian direncanakan dibagi atas dua (2) tahap. Tahap pertama bertujuan untuk menghasilkan prototipe perangkat pembelajaran konstruktivis yang valid dari segi isi (content validity) dan susunan (construct validity). Untuk mencapai hal tersebut peneliti akan melakukan langkah-langkah berupa: analisis kebutuhan (need assessment), analisis kurikulum matematika SD, review literatur, serta merancang prototipe perangkat. Selanjutnya prototipe perangkat yang dihasilkan akan divalidasi oleh pakar pembelejaran matematika, dan kemudian direvisi sebelum dimplementasikan.
Pada tahap ke-dua akan dilakukan implementasi pada tiga kelompok SD di Kota Padang Panjang, yaitu SD kelompok tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokkan SD akan dilakukan berdasarkan peringkat sekolah dalam pencapaian nilai Ujian Akhir Sekolah pada bidang studi Matematika. Implementasi bertujuan untuk memperoleh perangkat pembelajaran yang praktikal dan efektif. Pada tahap ke-dua ini akan diteliti apakah perangkat yang dihasilkan dapat digunakan oleh siswa dan guru pada kondisi sekolah yang berbeda, serta dampak penggunaan perangkat tersebut terhadap siswa dan guru. Data penelitian pada tahap ini diperoleh melalui tes hasil belajar, observasi kelas, kuesioner, dan wawancara dengan guru dan siswa. Selanjutnya hasil belajar kelompok siswa yang menggunakan perangkat konstruktivis juga akan dibandingkan dengan hasil belajar kelompok siswa yang menggunakan perangkat pembelajaran konvensional. Observasi kelas, kuesioner, dan wawancara bertujuan untuk mengetahui dampak penggunaan perangkat terhadap motivasi siswa dalam belajar matematika.






















BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dukungan Teoritik Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Menurut Degeng (1994) kegiatan pembelajaran yang baik diawali dengan desain yang benar. Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menetapkan dan mengembangkan strategi pembelajaran yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Selanjutnya Degeng menjelaskan bahwa dalam merancang pembelajaran perlu pengorganisasian isi bahan ajar seperti: penataan isi, urutan isi, dan pemilihan bahan ajar. Dalam mengembangkan perangkat pembelajaran harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: (1) dapat membantu untuk kegiatan pembelajaran secara individu/kelompok, (2) dapat merespon secara maksimal, (3) memuat pesan secara potensial, (4) mampu memberikan kesempatan belajar yang diminati, (5) memberikan saran dan petunjuk serta informasi balikan tentang tingkat kemajuan belajar yang dicapai siswa. 
            Menurut Urbach (dalam Asma, 2000) Pengembangan perangkat pembelajaran adalah seperangkap program pembelajaran berdasarkan pendekatan sistem. Pendekatan sistem pembelajaran merupakan suatu rentetan peristiwa yang mempengaruhi siswa agar terjadi proses pembelajaran. Peristiwa tersebut dapat dilakukan oleh siswa baik secara individu maupun kelompok dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Hasil dari pendekatan sistem ini diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah pembelajaran secara efektif dan efisien.
Sehubungan dengan hal di atas, model yang digunakan dalam pengembangan perangkat pembelajaran matematika SD ini adalah Model Degeng (1994) yang terdiri  dari delapan langkah sebagai berikut:
1.  Analisis Tujuan dan Karakteristik Bidang Studi
Analisis tujuan dan karakteristik isi bidang studi perlu dilakukan pada tahap awal kegiatan perancangan perangkat pembelajaran. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui tujuan pembelajaran apa yang diharapkan.  Lebih khusus lagi, untuk mengetahui tujuan orientatif pembelajaran: apakah faktual, konseptual, prose-dural, ataukah teoritik. Demikian pula, untuk mengetahui tujuan pendukung yang memudahkan pencapaian tujuan orientatif tersebut. 
Analisis karakteristik isi bidang studi dilakukan untuk mengetahui tipe isi bidang studi apa yang akan dipelajari oleh siswa, apakah berupa fakta, konsep, prosedur, ataukah prinsip. Demikian juga, untuk mengetahui bagai-mana struktur isi bidang studinya.
2. Analisis Sumber Belajar (kendala)
Analisis Sumber Belajar dilakukan segera setelah langkah analisis tujuan dan karakteristik isi bidang studi. Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui sumber belajar apa yang tersedia dan dapat dipergunakan untuk menyampaikan isi pembelajaran. Hasil dari kegiatan ini akan berupa daftar sumber belajar yang tersedia yang dapat mendukung proses pembelajaran. Sumber belajar terdiri atas enam macam, yaitu; pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan latar atau lingkungan (AECT, 1994). Dalam pengembangan ini akan dilakukan identifikasi dan analisis terhadap sumber belajar apa yang tersedia dan dapat dipergunakan.
3.  Analisis Karakteristik Siswa
Analisis karakteristik siswa dimaksudkan untuk mengetahui ciri-ciri perseorangan siswa, hal ini dapat dijadikan petunjuk dalam mempersiapkan strategi pengelolaan pembelajaran. Hasil dari langkah ini akan berupa daftar yang memuat pengelompokan karakteristik  siswa yang menjadi sasaran pembelajaran.
4. Menetapkan Tujuan Belajar dan Isi Pembelajaran
Menetapkan tujuan dan isi pembelajaran, pada dasarnya sudah bisa dilakukan segera setelah melakukan analisis tujuan dan karakteristik isi bidang studi. Hasil dari langkah ini adalah berupa daftar yang memuat rumusan tujuan khusus pembelajaran (disebut juga tujuan belajar) dan tipe serta struktur isi perangkat pembelajaran yang akan dipelajari siswa untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan.
5.  Menetapkan Strategi Pengorganisasian Materi
Menetapkan strategi pengorganisasian materi segera bisa dilakukan setelah analisis dan penetapan tipe serta karakteristik materi. Pemilihan strategi pengorganisasian pembelajaran amat dipengaruhi oleh tipe isi bidang studi yang dipelajari dan bagaimana struktur materi itu. Hasil dari langkah ini adalah berupa penetapan model untuk mengorganisasi isi perangkat pembelajaran.
6  Menetapkan Strategi Penyampaian Materi Pembelajaran
    Menetapkan strategi penyampaian  isi pembelajaran didasarkan pada hasil analisis sumber belajar. Seperti telah dikemukan sebelumnya bahwa hasil analisis sumber belajar akan berupa daftar sumber belajar yang tersedia dan dapat digunakan dalam proses pembelajaran, pada langkah ini daftar yang telah dibuat tersebut dijadikan dasar dalam memilih dan menetapkan strategi penyampaian pembelajaran. Hasil kegiatan dalam langkah ini akan berupa penetapan model untuk menyampaikan isi pembelajaran.
7.  Menetapkan Strategi Pengelolaan Pembelajaran
   Menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran sangat tergantung pada hasil analisis karakteristik siswa yang dibuat ketika melakukan analisis karakteristik yang dijadikan  dasar dalam memilih dan menetapkan strategi pengelolaan. Hasil kegiatan dalam langkah ini berupa penetapan penjadualan penggunaan komponen strategi pengorganisasian dan penyampaian pembe-lajaran, pengelolaan motivasi, pembuatan catatan tentang kemajuan belajar dan kontrol belajar siswa.
8. Pengembangan Prosedur Pengukuran Hasil Pembelajaran
Langkah terakhir adalah melakukan pengukuran hasil pembelajaran, yang mencakup pengukuran tingkat keefektifan, efisiensi, dan daya tarik pembe-lajaran. Kegiatan ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan proses pembelajaran dan tes hasil belajar. Kedelapan langkah tersebut digambarkan dalam diagram 1



 




                                                                                               
Text Box:  PENETAPAN
 TUJUAN BE-
 LAJAR DAN   
 ISI            ANALISIS                                                                                                                                                                                                             
           TUJUAN DAN                                                                                            PENGUKUR-
             KARAKTER                                                                                               AN  HASIL
                ISTIK ISI                                                                                                   BELAJAR
                                         








 




Gambar 1. Model Desain Pembelajaran (Degeng, 1994)

Model Degeng dipergunakan berdasarkan pertimbangan bahwa: (1) model Degeng termasuk model pengembangan pembelajaran classroom focus yaitu pembelajaran yang di dalamnya terdapat; guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, (2) dapat dipergunakan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran berorientasi konstruktivisme, (3) dapat dipergunakan untuk mengembangkan bahan pembelajaran pada kapabilitas belajar informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, keterampilan motorik, (4) dalam pengorganisasian isi pembelajaran menggunakan teori elaborasi, (5) bersifat preskriptif yang berorientasi pada tujuan dan pemecahan masalah belajar, (6) memiliki langkah-langkah yang lengkap dan mampu memberikan arahan detail sampai pada tingkat produk yang jelas (Urbach dalam Asma, 2000).


B. Pendekatan konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak serta merta (Steffe, 1991). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan jika dikehendaki informasi tersebut menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar pemikiran seperti dijelaskan di atas, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” dan bukan menerima pengetahuan. Agar proses mengkonstruksi berlangsung optimal diperlukan sarana yang sesuai dan relevan dengan keragaman siswa, kondisi lingkungan dan tujuan pembelajaran matematika. Paradigma pembelajaran matematika kontemporer menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah untuk melatih cara berfikir dan bernalar, mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Sarana yang utama untuk mencapai tujuan tersebut adalah tersedianya perangkat pembelajaran yang memungkinkan siswa berlatih untuk berfikir, bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi.
Dalam kelas konstruktivis, seorang guru tidak mengajarkan kepada siswa bagaimana menyelesaikan persoalan, tetapi mempresentasikan masalah dan men “encourage” (mendorong) siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah (Kamii, 1990). Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak memberikan penilaian apakah jawabannya benar atau salah. Namun guru mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju dengan saling bertukar ide sehingga sampai pada suatu persetujuan tentang apa yang dapat masuk akal siswa.
Selanjutnya Steffe dan Kieren (1995) menyatakan bahwa dengan pendekatan konstruktivisme, aktifitas matematika dapat diwujudkan melalui penyajian masalah, kerja berpasangan, atau dalam kelompok kecil serta diskusi kelas. Jadi dalam pendekatan konstruktivis pembelajaran harus dirancang dengan pendekatan problem solving, dimana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika. 
Pandangan konstruktivisme tentang pengetahuan didasarkan atas empat prinsip dasar (Fosnot dalam Santyasa, 2001) sebagai berikut.
Pertama, pengetahuan terdiri dari “post construction” bahwa manusia mengkonstruksi pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalaman-nya. Fosnot  juga mengatakan doktrin Piaget bahwa struktur-struktur logis itu berkembang analog dengan perkembangan biologis.
Kedua, pengkonstruksian pengetahuan itu terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Manusia menggunakan asimilasi sebagai suatu kerangka logis dalam rangka menginterpretasikan informasi baru dan dengan akomodasi dalam rangka memecahkan kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri yang lebih luas.
Ketiga, mengacu kepada belajar sebagai suatu proses organik penemuan lebih dari pada proses mekanik akumulasi. Kaum konstruktivis mengambil suatu posisi bahwa belajar harus mendapat pengalaman berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek, mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, berimajinasi, dan menemukan dalam upaya mengembangkan konstruksi-konstruksi baru. Berdasarkan perspektif ini, tampaknya sangat diperlukan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan model instruksional yang bersifat aktif. siswa harus secara aktif membangun pengetahuannya dan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator yang bersifat kreatif dan dinamis.
Keempat, mengacu kepada mekanisme sehingga perkembangan kognitif dapat berlangsung. Belajar bermakna terjadi melalui proses replikasi dan resolusi konflik. Konflik kognitif terjadi hanya jika siswa mengalami ketidakseimbangan antara dua skema yang kontradiktif. Meskipun pengajar dapat membantu menengahi proses tersebut, namun perubahan hanya dapat terjadi atas inisiatif siswa.
Sebagai langkah awal agar model belajar konstruktivisme dapat diimplementasikan dalam pembelajaran adalah guru hendaknya mengikuti pandangan konstruktivistik. Menurut Brook (1993) guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri  sebagai berikut:
1.      Menganjurkan dan menerima otonomi dan inisiatif siswa.
2.      Menggunakan perangkat pembelajaran dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
3.      Dalam penyusunan tugas-tugas, memakai istilah-istilah kognitif, seperti klasifikasi, analisis, ramalkan, dan ciptakan.
4.      Menyertakan respon siswa dalam rangka pengendalian pelajaran, mengubah strategi pembelajaran, dan mengubah isi.
5.      Menggali pemahaman siswa tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum sharing pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.
6.      Menyediakan kondisi agar siswa dapat berdiskusi baik dengan dirinya maupun dengan siswa yang lain.
7.      Mendorong sikap inquiry siswa dengan menanyakan sesuatu yang menuntut berpikir kritis, menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan mendorong siswa agar berdiskusi antar temannya.
8.      Mengelaborasi respon awal siswa.
9.      Mengikutsertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbul-kan kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.
10.  Menyediakan waktu tunggu setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
11.  Menyediakan waktu untuk siswa dalam rangka mengkonstruksi hubungan-hubungan dan menciptakan analogi atau kiasan-kiasan (metaphors).
12.  Memelihara sikap keingintahuan alamiah (natural curiosity) siswa melalui peningkatan frekuensi pemakaian Model Siklus Belajar.
Menurut Solow (1990), untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide matematika dengan baik, siswa dituntut untuk memiliki kreativitas, intuisi, dan pengalaman. Memiliki intuisi berarti memiliki kemampuan untuk membuat konjektur yang merupakan bagian yang sangat penting dalam proses penalaran matematika. Sedangkan memiliki kreativitas berarti memiliki kemampuan untuk menyatakan persoalan dalam berbagai model yang operasional (Ervynck, 1991).
Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan, bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Setiap tahap dari pembelajaran matematika hendaklah berorientasi pada suatu proses investigasi atau pencarian. Oleh sebab itu, guru perlu menyediakan lingkungan belajar dimana siswa dapat menguasai konsep dasar, keterampilan algoritma, proses heuristik, dan kebiasaan bekerjasama (Cobb, 1992).
Mengacu pada ciri-ciri guru yang konstruktivis dan esensi dari pembelajaran matematika yang konstruktivis, perlu dipilih model-model pembelajaran yang memungkinkan siswa berlatih mengembangkan kemampuan pemahaman, penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah. Model pembelajaran yang dilandasi teori konstruktivis diantaranya adalah: model pembelajaran kooperatif (cooperatif learning), model pembelajaran berbasis masalah (problem based instruction), dan model pembelajaran langsung (direct instruction). Berikut ini dijelaskan tinjauan teoritis masing-masing model pembelajaran tersebut.

a. Model Pembelajaran Kooperatif 
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai paling tidak tiga tujuan pembelajaran yaitu hasil belajar, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (Corebima, 2002). Putra (2003) mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa kelebihan dalam mengembangkan potensi siswa, diantaranya: adanya hubungan saling menguntungkan antar anggota kelompok, berkembangnya semangat kerjasama, dan adanya semangat kompetisi yang sehat antar anggota kelompok dan antar kelompok. Oleh sebab itu penerapan model ini dapat mengembangkan potensi siswa secara efektif.
Menurut Arends (1998) model pembelajaran kooperatif terdiri dari enam fase, fase tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif
Fase
Peran Guru
Fase 1, Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2, Menyampaikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Fase 3, Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar  dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase 4,
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Fase 5,
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase 6,
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Terdapat beberapa variasi pendekatan dari model pembelajaran kooperatif, yaitu; (i) Student Teams Achievement Division (STAD), (ii) Jigsaw, (iii) Grup Investigasi, dan (iv) Pendekatan Struktural. Jenis pendekatan yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik materi, keadaan siswa, dan lingkungan.

b. Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berdasarkan masalah bercirikan penggunaan masalah dunia nyata. Model ini dapat digunakan untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting. Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan proses belajar, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya pada tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar (Arends, 1998). Pendapat ini senada dengan temuan hasil penelitian Adams, dkk (dalam Slavin, 1994) bahwa penggabungan keterampilan berpikir dengan pembelajaran dalam bidang kajian tertentu, hasilnya memberikan harapan yang lebih baik.
Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis, sebab disini guru berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, pemberi fasilitas penelitian, menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual siswa. Prinsip utama pendekatan konstruktivis adalah pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara aktif oleh individu. Hasil penelitian Carpenter dan Fenema (dalam Slavin, 1994: 284) menunjukkan adanya pengaruh positif pendekatan konstruktivis terhadap variabel hasil belajar konvensional dalam matematika.
Pembelajaran berdasarkan masalah hanya dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan (Arends, 1998). Untuk itu perlu didukung oleh sumber belajar yang memadai bagi siswa, alat-alat untuk menguji jawaban atau dugaan, perlengkapan kurikulum, tersedianya waktu yang cukup, serta kemampuan guru dalam mengangkat dan merumuskan masalah (Sujana, 1989) agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.
Salah satu sarana belajar yang berperan penting dalam pencapaian tujuan pembelajaran adalah tersedianya perangkat pembelajaran. Hasil penelitian Sinaga (1999) menyatakan bahwa perangkat pembelajaran berdasarkan masalah dengan bahan kajian fungsi kuadrat untuk SMU mampu mengurangi dominasi guru dalam pembelajaran dan mampu mengaktifkan siswa dalam belajar. Juga ditemukan bahwa kemampuan guru dalam mengelola model pembelajaran berdasarkan masalah cukup baik, dan sebagian besar siswa yang mengikuti pembelajaran ini memberikan respon senang dan berminat mengikuti pembelajaran berikutnya.
Hasil penelitian Terry Wood dan Patricia Sellers (dalam Arends, 1998) menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dengan pembelajaran berpusat pada masalah ada pada tingkat yang baik. Perbandingan antara hasil belajar siswa dengan pembelajaran berpusat pada masalah lebih tinggi secara signifikan dari siswa yang belajar dengan algoritma tradisonal.
Menurut Arends (1998) pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah meliputi lima tahapan. Kelima tahapan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase
Peran Guru
Fase 1,
Orientasi siswa pada masalah
Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan masalah
Fase 2,
Mengorganisasi siswa
Pada tahap ini guru membagi siswa ke dalam kelompok, membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.
Fase 3,
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Fase 4,
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
Fase 5,
Mengevaluasi proses pemecahan masalah

Pada tahap ini guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan.




c. Model Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung dirancang untuk mengembangkan kemampuan siswa untuk mempelajari pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik yang dapat dipelajari selangkah demi selangkah (Kardi, 2001). Arends (1998) mengemukakan bahwa teori belajar yang paling banyak sumbangannya pada model pembelajaran langsung adalah teori belajar sosial, yang juga disebut belajar melalui observasi, atau lebih dikenal dengan teori pemodelan tingkah laku (behavioral modeling theory).
Pakar pemodelan tingkah laku yakin bahwa sesuatu telah dipelajari jika pengamat memperhatikan dengan sadar beberapa tingkah laku dan kemudian menyimpannya dalam ingatan jangka panjang. Bandura (1977) menyatakan teori pemodelan tingkah laku merupakan suatu proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu; atensi, retensi, dan produksi. Dengan memberi penekanan dan perhatian pada ketiga tahap tersebut diharapkan siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya di bawah bimbingan guru.
Pembelajaran langsung adalah suatu pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah (Kardi, 2000). Pengajaran langsung memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang cukup rinci terutama pada analisis tugas, dan keterlibatan siswa secara aktif di kelas.
Kardi (2000) menjelaskan ciri-ciri pengajaran langsung sebagai berikut: (i) Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar. (ii) Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran. (iii) Sistem pengelolaan dan lingkungan yang mendukung berlangsung dan berhasilnya pembelajaran. Jadi, ciri penting pembelajaran langsung terletak pada presentasi dan demonstrasi yang jelas dari materi belajar, analisis tugas, dan tujuan.
Pada model pembelajaran langsung terdapat lima fase yang harus dilalui, fase ini disebut dengan sintaks model pembelajaran langsung, seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Sintaks Model Pembelajaran Langsung
No
Fase
Peran Guru
1
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
Menjelaskan tujuan pembelajaran, memberi informasi latar belakang topik, mempersiapkan siswa untuk belajar.
2
Mendemonstrasikan pengetahuan/keterampilan
Mendemonstasikan pengetahuan/ keterampilan, atau menyajikan informasi tahap demi tahap.
3
Membimbing pelatihan
Merencanakan dan memberikan bimbingan pelatihan.
4
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
Mengecek apakah siswa sudah melakukan tugas dengan baik, dan memberikan umpan balik.
5
Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan
Mempersiapan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan (perhatian penerapan pada situasi yang lebih kompleks)
(Arends, 1998)
Dari sintaks pembelajaran langsung di atas terlihat peran aktif guru dalam pembelajaran, peran guru lebih diarahkan pada kemampuan siswa untuk mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Jadi, dalam pembelajaran langsung ini guru berperan sebagai pemberi informasi, pengaju pertanyaan, pemberi petunjuk (hint), serta pengaju masalah berbeda baik sebagai pembanding maupun untuk keperluan pengembangan.
C. Pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran konvensional menekankan kepada guru sebagai pusat informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Dengan pola seperti ini mengakibatkan tahap-tahap yang terdapat dalam pembelajaran konvensional berlawanan dengan model pembelajaran berorientasi konstruktivisme. Abraham dan Renher (1986: 112) mengemukakan bahwa:
In traditional models the students are first informed of what they are expected to know. The informing is accomplished via textbook, a motionpicture, a teacher or some other type of media. Next, some type of proof is offered to the students in order for them to verify that what they have been told or shown is true. Finally, the students answer question or enggage insome other from practice with the new information.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tahap-tahap yang dilalui dalam pembelajaran konvensional adalah informed-verify-practice.
Hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan di kelas berorientasi pada tahap-tahap pembukaan-penyajian-penutup. Pada kegiatan pembelajaran ini, guru cenderung menggunakan metode ceramah dengan sedikit disertai tanya jawab. Guru berusaha memindahkan atau mengkopikan pengetahuan yang ia miliki kepada siswa. Keadaan ini cenderung membuat siswa pasif dalam menerima pelajaran dari guru. Kegiatan pembelajaran yang tergambar di atas merupakan kegiatan pembelajaran yang bertentangan dengan ide yang dilontarkan Vigotsky (dalam Slavin, 1994: 48) berupa scaffolding yaitu pemberian bantuan sebanyak-banyaknya kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan model pembelajaran konvensional atau konvensional adalah pembelajaran yang dilakukan oleh guru sehari-hari di kelas.

D. Hipotesis Penelitian
            Sesuai dengan rumusan permasalahan yang dikemukakan pada Bab I dan kajian teori yang di atas, hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.      Terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelompok tinggi yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
2.      Terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelompok sedang yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
3.      Terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelompok rendah yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
4.      Terdapat perbedaan motivasi belajar siswa kelompok tinggi yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
5.      Terdapat perbedaan motivasi belajar siswa kelompok sedang yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional  
6.      Terdapat perbedaan motivasi belajar siswa kelompok rendah yang menggunakan  perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI, dan  pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional




BAB III
 METODE PENELITIAN


A.    Disain Penelitian
Disain penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan (developmental research). Disain ini dipandang sangat sesuai untuk kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk yang valid, praktikal, dan efektif. Sehubungan dengan produk yang dihasilkan yaitu berupa perangkat pembelajaran, maka kegiatan penelitian dibagi atas dua tahap, yaitu; (i) tahap penyusunan prototipe perangkat yang valid, dan (ii) tahap implementasi, yang bertujuan untuk melihat praktikabilitas dan efektifitas perangkat pembelajaran yang dihasilkan.
a. Disain Penelitian Tahap I
Fokus penelitian pada tahap I adalah dihasilkannya prototipe perangkat pembelajaran berorientasi konstruktivis yang valid dari segi isi (content) dan susunan (construct). Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap penyusunan prototipe perangkat yang valid adalah sebagai berikut; (i) analisis kebutuhan (need assesment), (ii) review literatur, (iii) merancang prototipe,  (iv) validasi pakar pembelajaran matematika, dan (v) revisi dan evaluasi prototipe.
Analisis kebutuhan dilakukan dengan cara observasi lapangan, wawancara dengan guru matematika dan siswa SD, dan menelaah kurikulum matematika yang sedang digunakan saat ini. Selanjutnya peneliti melakukan review literatur yang relevan. Berikutnya, berdasarkan analisis kebutuhan dan review literatur peneliti bersama-sama guru SD merancang prototipe perangkat pembelajaran dengan mengacu kepada model Degeng (1994), tentang langkah-langkah pengembangan perangkat (lihat kajian teori), dan Brook (1993) tentang ciri-ciri pendekatan konstruktivis (lihat kajian teori). Prototipe perangkat yang didisain mencakup topik matematika yang akan diajarkan pada semester I kelas V SD. Model pembelajaran yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik topik dan jumlah waktu yang tersedia untuk setiap topik.

Selanjutnya prototipe yang dihasilkan divalidasikan kepada seorang pakar pembelajaran matematika dan enam orang guru matematika SD. Kegiatan validasi difokuskan untuk menguji validitas isi dan validitas susunan. Validitas isi mengacu kepada pada kesesuaian materi dalam perangkat dengan kurikulum, sedangkan validitas susunan merujuk pada kesesuaian susunan perangkat dengan kriteria yang diharapkan yaitu; tahap-tahap pengembangan perangkat model Degeng dan  pendekatan pembelajaran konstruktivis.
b. Disain Penelitian Tahap II
Kegiatan penelitian tahap II merupakan implementasi dari prototipe perangkat yang dihasilkan. Tujuan penelitian difokuskan untuk memperoleh perangkat pembelajaran yang praktikal dan efektif. Kriteria yang digunakan untuk menilai praktikabilitas perangkat pembelajaran adalah keterpakaian dan keterlaksanaan. Keterpakaian artinya, guru dan siswa dapat menggunakan perangkat yang dibuat, sedangkan keterlaksanaan mengacu pada bahwa perangkat dapat digunakan guru untuk menyampaikan topik-topik matematika dalam kondisi proses belajar-mengajar matematika yang normal.
Sebelum proses implementasi, guru  yang ikut meneliti diberikan pelatihan terlebih dahulu. Kegiatan uji coba dan implementasi dilakukan bersamaan. Artinya, selama masa implementasi perangkat pembelajaran, peneliti tetap melakukan revisi (perbaikan) perangkat pembelajaran berdasarkan data observasi kelas dan wawancara dengan guru dan siswa, serta pencapaian kriteria keterpakaian dan keterlaksanaan prototipe perangkat pembelajaran.
Selanjutnya efektifitas penggunaan prototipe perangkat pembelajaran, dilihat melalui tes hasil belajar. Perangkat pembelajaran dikatakan efektif jika dapat memberikan dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Dampak positif penggunaan perangkat pembelajaran terhadap hasil belajar siswa dilihat dengan membandingkan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan perangkat pembelajaran yang berorientasi konstruktivis dengan kelompok siswa yang menggunakan perangkat konvensional pada masing-masing kelompok sekolah (tinggi, sedang, rendah). Proses penelitian pada pada masing-masing kelompok sekolah dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Rancangan Penelitian Untuk Menyeleidiki Efektifitas Penggunaan     Perangkat

Level Sekolah
Penggunaan Perangka Pembelajaran Matematika Berorientasi Konstruktivisme dengan Model Pembelajaran:
Pembelajaran Matematika Secara:
Tinggi
Kooperatif
PBI
Langsung
Konvensional
Sedang
Kooperatif
PBI
Langsung
Konvensional
Rendah
Kooperatif
PBI
Langsung
Konvensional

Secara ringkas, bagan alir kegiatan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar berikut ini.












Gambar 2. Bagan alir kegiatan penelitian





Analisis Kebutuhan
§  Wawancara dengan guru dan siswa
§  Analisis kurikulum
§  Reviu literatur
 


 


























 















B.       Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri di Kota Padang Panjang. Karena penelitian ini melibatkan tiga SD Negeri yang masing-masing mewakili peringkat tinggi, sedang, dan rendah, maka sampel diambil dengan teknik “stratified random sampling”.  Langkah-langkah proses sampling yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.    Membagi SDN Kota Padang Panjang  atas tiga kelompok peringkat (tinggi, sedang, dan rendah) berdasarkan UASBN Matematika SD pada tahun pelajaran 2008/2009.
2.    Mengambil secara acak satu sekolah sampel dari masing-masing peringkat.
3.    Mengumpulkan nilai rapor terakhir siswa kelas V pada masing-masing kelas sampel.
4.    Melakukan uji normalitas. Berdasarkan hasil pengujian ternyata semua kelompok data berdistribusi normal.
5.    Melakukan uji homogenitas variansi. Berdasarkan hasil pengujian ternyata semua kelompok data mempunyai variansi yang homogen. Melakukan uji kesamaan rata-rata pada ketiga kelompok data, hasilnya ketiga kelompok data tidak mempunyai perbedaan rata-rata yang berarti pada α = 0,05.
6.    Mengambil secara acak 2 lokal sebagai kelas sampel pada masing-masing sekolah sampel.


C.    Data dan Instrumen Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian adalah sebagai berikut
  1. Data hasil validasi perangkat pembelajaran
  2. Data hasil wawancara dengan guru dan siswa
  3. Data hasil belajar matematika siswa untuk setiap level sekolah dan kelompok siswa, dan
  4. Data motivasi belajar siswa pada setiap level sekolah dan kelompok siswa

Inatrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah sebagai berikut:
  1. Lembar validasi,  untuk mengumpulkan data hasil validasi perangkat pembelajaran
  2. Pedoman wawancara, digunakan untuk mengumpulkan data pendapat siswa, dan guru mengenai perangkat pembelajaran konstruktivis
  3. Lembar observasi, untuk mengumpulkan data tentang efektifitas  pembelajaran, terutama keterpakaian dan keterlaksanaan dari perangkat yang disusun
  4. Angket motivasi, untuk memperoleh data motivasi belajar siswa
  5. Tes hasil belajar matematika, dalam bentuk esaay dan focus pada pemecahan masalah, penalaran, dna komunikasi. Tes diperlukan untuk mengkaji efektifitas penggunaan perangkat pada setiap level sekolah dan setiap kelompok siswa.


D.    Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari observasi kelas, wawancara, dan angket akan ditabulasi, dideskripsikan, dan dianalisis saecara dsekriptif kualitatif sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Data yang diperoleh melalui tes hasil belajar dan tes motivasi dianalisis dengan ANAVA satu arah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar