PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Kualitas kehidupan bangsa
sangat ditentukan oleh faktor pendidikan, karena pendidikan berperan untuk
menciptakan generasi yang cerdas, membangun kehidupan yang damai, terbuka, dan
demokratis. Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan
yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan diharapkan dapat menaikkan harkat
dan martabat manusia Indonesia. Untuk meraih hal tersebut, pendidikan harus
adaptif terhadap perubahan zaman.
Memasuki abad ke-21 ini,
kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia
sangat tidak kompetetif. Menurut catatan Human Development Report tahun
2003 (?) versi United Nation Development Project (UNDP), kualitas SDM atau
Human Development Index (HDI) Indonesia berada pada peringkat ke-112 dari 138
negara yang disurvei. Indonesia berada jauh dibawah Filipina (85), Thailand
(74), Malaysia (58), Brunei Darussalam (31), Korea Selatan (30), dan Singapura
(28). Sementara itu, Third Mathematics and Science Study (TIMSS), lembaga yang
mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan matematika siswa
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Indonesia berada di urutan ke-34, dan kemampuan
IPA berada di urutan ke-32 dari 38 buah negara yang disurvei. Kondisi ini
menunjukkan bahwa mutu pendidikan kita memang memprihatinkan. Oleh sebab itu
pembaruan pendidikan harus terus dilakukan.
Dalam konteks pembaruan
pendidikan ada tiga isu utama yang perlu disoroti yaitu: (1) pembaruan
kurikulum, (2) peningkatan kualitas pembelajaran, dan (3) efektivitas
metode/pendekatan pembelajaran. Kurikulum pendidikan harus komprehensif dan
responsif terhadap dinamika sosial, relevan,
tidak overload, dan mampu mengakomodasi keperluan dan kemajuan
teknologi. Selanjutnya, kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas
hasil pendidikan. Secara mikro harus ditemukan strategi atau pendekatan
pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, dan yang lebih memberdayakan potensi siswa.
Berbagai usaha telah dan
sedang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional.
Salah satunya adalah penyempurnaan kurikulum. Saat ini pemerintah sedang
menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Penyempurnaan
kurikulum harus dilakukan untuk merespon tuntutan terhadap kehidupan
berdemokrasi, globalisasi, dan otonomi daerah. Di era yang akan datang, fungsi
pendidikan diperluas mencakup hak azasi manusi yang mendasar, modal ekonomi,
sosial dan politik; alat pemberdayaan kelompok yang kurang beruntung, landasan
budaya dmai dan sebagai jalan utama menuju masayarakat belajar sepanjang hayat.
Atas dasar pemikiran tersebut, kurikulum perlu dikembangkan dengan pendekatan berbasis
kompetensi, agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif
dan komparatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Dengan
kompetensi sebagai dasar pengembangan kurikulum, akan dijamin adanya fleksibilitas
dalam mencapai penguasaan kompetensi, Pendekatan ini menekankan identifikasi kompetensi dasar setiap bidang
studi yang indikator-indikatornya dapat membantu guru menentukan strategi dan
teknik pengajarannya. Di samping itu, kompetensi dasar dan
indikator-indikatornya akan membantu siswa memahami apa yang harus mereka
kuasai.
Dengan KTSP, lembaga
pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap kepentingan
daerah dan karakteristik peserta didik serta tetap memiliki fleksibilitas
dalam melaksanakan kurikulum yang berdiversifikasi. Dilihat dari
tujuannya, KTSP ingin memusatkan diri pada pengembangan seluruh kompetensi
siswa, dan mereka dibantu agar kompetensinya muncul dan dikembangkan semaksimal
mungkin. Implementasi KTSP menghendaki
agar pembelajaran mampu membawa siswa memasuki kawasan pengetahuan dan penerapannya,
sehingga kompetensi siswa (ability, skill, dan knowledge) mereka
akan berkembang melalui proses pembelajaran.
Terkait dengan bidang studi
Matematika, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dinyatakan empat
fungsi pembelajaran matematika di SD, yaitu:
1. Melatih cara berfikir dan bernalar dalam
menarik kesimpulan.
2. Mengembangkan aktifitas yang kreatif
dengan melibatkan imajinasi, intuisi, dan rasa ingin tahu.
3. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah,
dan
4. Mengembangkan kemampuan komunikasi,
terutama menyampaikan gagasan (ide) dengan lisan, catatan grafik, ataupun
bentuk lainnya (Depdiknas, 2006).
Pencapaian tujuan tersebut
diuraikan dalam bentuk kompetensi dasar
berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam
kebiasaan berfikir dan bertindak. Hingga saat ini latihan keterampilan bernalar,
memecahkan masalah, dan berkomunikasi belum membudaya. Kebanyakan
siswa terbiasa melakukan kegiatan belajar dengan mendengar penjelasan guru,
menyalinnya, lalu menghafalkannya. Akibatnya, kebanyakan siwa mampu menyajikan
tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataaanya
mereka seringkali tidak memahami secara substansi materinya. Fakta
menunjukkan bahwa sebahagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara
apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan
dipergunakan atau dimanfaatkan. Siswa
mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan
prinsip dalam matematika karena siswa diajar dengan sesuatu yang abstrak
dan dengan cara penyampaian yang cendrung satu arah atau teacher centred.
Dewasa ini metode mengajar chalk
and talk (ceramah dan mencatat) masih mendominasi pembelajaran matematika
di Sekolah Dasar (SD). Akibatnya sebagian siswa mengalami kesulitan dalam
memahami konsep-konsep matematika yang mereka pelajari, karena apa yang
dipelajari bersifar abstrak dan tidak terkait dengan pengalaman yang mereka
peroleh dari kehidupan sehari-hari. Salah satu penyebab dari permasalahan ini
adalah kurangnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam menyusun, mengembangkan
materi ajar, memilih dan menerapkan pendekatan mengajar yang mampu menarik
minat siswa untuk belajar matematika. Di samping itu buku teks yang tersedia
pada umumnya juga mendorong guru untuk
mengajar matematika secara “mekanistik” dan “algoritmik”.
Penafsiran yang kurang tepat
tentang matematika modern, terutama oleh pengembang kurikulum dan guru,
mengakibatkan proses pembelajaran matematika berlangsung secara mekanistik (Fauzan,2006).
Pada pembelajaran yang mekanistik, proses pembelajaran dimulai dengan guru
menerangkan algoritma disertai beberapa contoh, kemudian siswa mengerjakan latihan
sesuai dengan contoh yang diberikan guru. Siswa hampir tidak pernah diberi
kesempatan oleh guru untuk mengkonstruksi pemahamannya tehadap materi yang mereka
pelajari. Guru lebih cendrung untuk meminta siswa mengingat
”langkah-langkah” atau cara-cara yang mereka ajarkan dalam memecahkan soal,
daripada mendorong dan memfasilitasi mereka untuk menyusun pengetahuan.
Akibatnya, pengetahuan yang diperoleh siswa kurang bermakna dan cepat terlupakan.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan
beberapa orang guru SD di Kota Padang Panjang juga terungkap bahwa pembelajaran
matematika masih cendrung berlangsung satu arah, yaitu dari guru ke siswa.
Umumnya, pola pembelajaran pada setiap pertemuan yang diterapkan oleh guru
adalah: menjelaskan materi pelajaran, memberikan contoh-contoh penerapan,
memberikan latihan, dan di akhir pembelajaran guru memberikan pekerjaan rumah
(PR). Pola pembelajaran seperti ini disebut pembelajaran konvensional. Pada
kegiatan pembelajaran seperti ini siswa bersifat pasif, guru mendominasi
kegiatan kelas, dan pembelajaran terpusat pada guru.
Perhatian guru dalam pola
pembelajaran konvensional lebih banyak tercurah pada ketuntasan penyampaian
materi. Dampak dari pembelajaran yang
berpusat pada guru, adalah sebagian besar siswa bersikap pasif dalam mengikuti
pembelajaran. Mereka tidak mampu/berani untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan
yang mereka miliki. Dalam satu kali pertemuan hanya satu atau dua orang siswa
saja yang berani bertanya atau mengemukakan pendapat.
Dengan metode seperti ini
jelas pembelajaran yang dilaksanakan kurang bermakna, dan tidak jarang suatu
konsep matematika hanya dipahami sebagai hafalan (bukan sebagai pengertian).
Akibatnya, konsep tersebut mudah dilupakan dan bahkan sering suatu konsep matematika
dipahami secara keliru oleh siswa. Semua ini pada akhirnya menyebabkan siswa
tidak mampu menerapkan dengan baik
konsep-konsep yang telah dipelajarinya dalam menyelesaikan soal-soal latihan.
Permasalahan yang diuraikan di
atas, diperburuk lagi kondisi bahan ajar (buku teks) yang digunakan guru, yang tidak
mendukung untuk penciptaan suasana belajar yang kondusif. Buku teks lebih
banyak digunakan sebagai buku pegangan guru, dan mereka meyajikan pelajaran persis sama dengan apa
yang ada pada buku teks. Guru belum merancang perangkat pembelajaran yang mampu
mengakomodasi kebutuhan siswa untuk belajar secara aktif. Selanjutnya juga
dapat dilihat buku teks yang beredar belum memfasilitasi siswa untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Isi buku lebih banyak ditekankan pada
penjelasan rinci dari sebuah konsep, kemudian diikuti dengan contoh soal dan
sejumlah soal-soal latihan. Uraian yang ada pada buku teks cendrung membuat
siswa menghafal, tanpa memahami untuk apa mereka mempelajarinya, karena materi
yang disajikan kurang terkait dengan dunia nyata siswa.
Paradigma pembelajaran
kontemporer menyatakan bahwa fungsi pembelajaran matematika bukan sebagai
pengembangan keterampilan belaka tetapi harus memenuhi empat prinsip yaitu: matematika
sebagai alat untuk mengembangkan penalaran, mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah, alat komunikasi dan penghubung antar disiplin ilmu (NCTM, 2001).
Untuk menyikapi persoalan ini
penulis menyakini perlu dilakukan upaya
pengembangan perangkat pembelajaran berdasarkan teori kognitif, yang di
dalamnya termasuk teori konstruktivis. Menurut teori konstruktivis,
keterampilan berfikir (penalaran),
memecahkan masalah, dan berkomunikasi dapat dikembangkan jika siswa
melakukan sendiri, menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan yang ada (Slavin,
1994).
Konstruktivisme adalah suatu
paham yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak serta
merta (Steffe, 1991). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa perlu dibiasakan untuk
memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut
dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan di benak
mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah siswa harus menemukan
dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan jika
dikehendaki informasi tersebut menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar pemikiran seperti
dijelaskan di atas, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi”
dan bukan menerima pengetahuan. Agar proses mengkonstruksi berlangsung optimal
diperlukan sarana yang sesuai dan relevan dengan keragaman siswa, kondisi
lingkungan dan tujuan pembelajaran matematika. Paradigma pembelajaran
matematika kontemporer menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah
untuk melatih cara berfikir dan bernalar, mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Sarana utama untuk mencapai
tujuan tersebut adalah tersedianya perangkat pembelajaran yang memungkinkan
siswa berlatih untuk berfikir, bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi.
Dalam kelas konstruktivis,
seorang guru tidak mengajarkan kepada siswa bagaimana menyelesaikan persoalan,
tetapi mempresentasikan masalah dan men mendorong siswa untuk menemukan cara
mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah (Kamii, 1990). Ketika siswa
memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak memberikan penilaian apakah
jawabannya benar atau salah. Namun guru mendorong siswa untuk setuju atau tidak
setuju dengan saling bertukar ide sehingga sampai pada suatu persetujuan
tentang apa yang dapat masuk akal bagi siswa. Dengan pendekatan konstruktivis,
aktivitas matematika dapat diwujudkan melalui penyajian masalah, kerja
berpasangan, atau dalam kelompok kecil serta diskusi kelas. Jadi dalam
pendekatan konstruktivis pembelajaran harus dirancang dengan pendekatan problem
solving, yang mana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki
makna matematika.
Berdasarkan pengamatan dan
pengalaman peneliti berdiskusi dengan guru-guru di SD diperoleh informasi dan fakta bahwa mereka
belum terampil dalam menyusun perangkat pembelajaran yang berorientasi
konstruktivis. Oleh sebab itu hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat
menjadi model bagi guru matematika dalam menyiapkan dan menyelenggarakan
pembelajaran yang lebih bermakna.
Guna memperoleh
perangkat pembelajaran matematika yang memungkinkan siswa berlatih berfikir,
bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi, perlu dipenuhi minimal tiga kriteria yaitu: (1) validitas, (2)
praktikabilitas, dan (3) efektivitas.
Validitas merujuk
pada ketepatan perangkat dalam mengukur apa yang dinginkan (Sukardi, 2004).
Secara metodologis, validitas perangkat yang akan disusun harus memenuhi
kriteria valid dari segi isi (content
validity) dan konstruk (construct validity).
Validitas isi dan
validitas konstruk pada umumnya ditentukan melalui pertimbangan para pakar.
Tidak ada formula matematis untuk
menghitung dan cara menunjukkannya secara pasti. Pertimbangan ahli dilakukan
dengan cara sebagai berikut: Pertama, para pakar dimintauntuk mengamati secara
cermar semua isi perangkat, kemudian para ahli mengoreksi perangkat, dan pada
akhir perbaikan para ahli diminta untuk memberikan pertimbangantentang
bagaiaman perangkat tersebut mencakup isi dan susunan yang sesuai dengan tujuan
yang dinginkan.
Perangkat
pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dikatakan valid atau mencerminkan “state
of the art knowledge” jika perangkat tersebut oleh pakar pendidikan
matematika dan pakar disain pembelajaran dinyatakan layak dari segi isi dan
konstruksi serta potensial untuk meningkatkan hasil dan motivasi belajar
matematika siswa.
Praktikabilitas suatu perangkat
pembelajaran merujuk pada kemudahan
dalam penggunaannya (Sukardi, 204). Perangkat matematika berorientasi konstruktivisme dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi, jika siswa dan guru dapat menggunakannya
sesuai dengan kriteria yang diharapkan (tanpa kendala yang berarti).
Selanjutnya efektivitas perangkat
pembelajaran diukur melalui pencapaian hasil belajar matematika yang diperoleh
siswadan motivasi belajar mereka. Jadi perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dikatakan efektif jika dapat meningkatkan hasil dan motivasi belajar
matematika siswa.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan yang muncul dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
- Siswa belum
mampu menggunakan materi yang
dipelajari pada situasi nyata
- Proses
pembelajaran matematika yang terjadi cedrung mekanistik dan belum memfasilitasi siswa untuk
mengembangkan kemampuan bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi.
- Buku
teks yang tersedia cendrung membuat siswa menghafal, tanpa
memahami untuk apa mereka mempelajarinya, karena materi yang disajikan
kurang terkait dengan dunia nyata siswa
- Kemampuan
guru untuk merancang perangkat
pembelajaran yang memungkinkan siswa berlatih untuk berfikir, bernalar,
memecahkan masalah, dan berkomunikasi masih sangat terbatas
- Hasil
belajar matematika siswa pada umumnya masih rendah.
C. Batasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dikemukakan di atas, masalah yang muncul perlu dibatasi agar penelitian yang
akan dilakukan lebif fokus, dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Adapun
batasan masalah yang perlu dikemukakan adalah
sebagai berikut:
1. Terbatasnya sumber pembelajaran matematika
yang tersedia di lapangan, yang dapat
memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan, dan
2. Terbatasnya kemampuan guru untuk merancang
perangkat pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan matematis siswa,
sehingga hasil belajar matematika siswa pada umumnya masih rendah.
D. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang,
dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka masalah
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah validitas perangkat
pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme yang dikembangkan untuk
siswa kelas 5 SD di Kota Padang Panjang?
2. Bagaimanakah kepraktisan perangkat
pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme yang dikembangkan untuk
siswa kelas 5 SD di Kota Padang Panjang?
3. Bagaimanakah efektifitas perangkat
pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme yang dikembangkan untuk
siswa kelas 5 SD di Kota Padang Panjang?
Terkait dengan efektifitas penggunaan
perangkat, masalah yang telah dirumuskan selanjutnya dirinci menjadi beberapa
sub-rumusan masalah, yaitu:
1. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar
siswa kelompok tinggi yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model Pembelajaran kooperatif atau
Cooperative Learning, pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Instruction (PBI),
dan pembelajaran langsung atau Direct Instruction (DI), dengan yang
menggunakan pembelajaran konvensional?
2. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar
siswa kelompok sedang yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model pembelajaran kooperatif, PBI, dan
pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional?
3. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar
siswa kelompok rendah yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model pembelajaran kooperatif, PBI, dan
pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran
konvensional?
4. Apakah terdapat perbedaan motivasi belajar
siswa kelompok tinggi yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model pembelajaran kooperatif, PBI, dan
pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran
konvensional?
5. Apakah terdapat perbedaan motivasi belajar
siswa kelompok sedang yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model pembelajaran kooperatif, PBI, dan
pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran
konvensional?
6. Apakah terdapat perbedaan motivasi belajar
siswa kelompok rendah yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model pembelajaran kooperatif, PBI, dan
pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran
konvensional?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan produk penelitian
yang akan dihasilkan, maka secara umum tujuan
penelitian ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran matematika berorientasi
konstruktivis yang valid, praktikal,
dan efektif. Perangkat pembelajaran yang akan disusun berupa Handout,
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RP),
dan Lembaran Kerja Siswa (LKS) dengan karakteristik konstruktivis. Selanjutnya,
produk yang dihasilkan diimplementasikan dengan menggunakan model pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual, dimana pendekatan ini memiliki filosofi
konstruktivis. Model pembelajaran kontekstual yang akan digunakan adalah; model
pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran
langsung. Secara lebih rinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui, bagaimanakah validitas,
praktikabilitas, dan efektivitas perangkat pembelajaran matematika
konstruktivis yang dihasilkan
2. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar matematika siswa yang
menggunakan perangkat pembelajaran
matematika berorientasi konstruktivisme dengan model Pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Instruction (PBI),
dan pembelajaran langsung atau Direct Instruction (DI), dengan yang
menggunakan pembelajaran konvensional. Perbedaan tersebut akan dilihat pada setiap
kelompok siswa yaitu: tinggi, sedang, dan rendah
3. Untuk mengetahui perbedaan motivasi belajar siswa yang pembelajarannya
menggunakan perangkat pembelajaran matematika
berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif, PBI,
dan pembelajaran langsung, dengan yang
menggunakan pembelajaran konvensional, pada setiap kelompok siswa, yaitu:
tinggi, sedang, dan rendah.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bekal pengetahuan, dan
pengalaman bagi penulis untuk membantu upaya peningkatan mutu pembelajaran matematika di SD
2. Dihasilkannya perangkat
pemebelajaran matematika berorientasi konstruktivis yang valid, praktis, dan
efektif
3. Guru memperoleh pengetahuan dan
pengalaman dalam menyusun perangkat pembelajaran matematika berorienatsi
konstruktivis.
4. Siswa memperoleh pengalaman belajar
matematika yang lebih bermakna, karena mereka memperoleh kesempatan untuk berlatih mengembangkan cara berfikir logis,
bernalar, mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah, dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi.
5. Sumbangan pemikiran bagi program
studi Ilmu Pendidikan, dalam mengembangkan berbagai bentuk penelitian
pengembangan, khususnya bidang pembelajaran matematika
G. Abstrak Rencana Penelitian
Penulis merencanakan untuk
mengembangkan perangkat pembelajaran berorientasi konstruktivis untuk siswa
kelas V SD. Pengembangan perangkat tersebut mengacu kepada model-model
pembelajaran kontekstual, misalnya: model pembelajaran koperatif, model
pembelajaran berbasis masalah, dan model pembelajaran langsung.
Perangkat yang dihasilkan diharapkan dapat membantu guru dalam melaksanakan
pendekatan pembelajaran kontekstual yang merupakan ”nafas” dari KTSP. Metode
penelitian yang akan digunakan adalah penelitian pengembangan atau devlopmental
research.
Penelitian akan difokuskan
untuk menghasilkan perangkat pembelajaran berorientasi konstruktivis yang valid,
praktikal, dan efektif. Kegiatan penelitian direncanakan dibagi atas
dua (2) tahap. Tahap pertama bertujuan untuk menghasilkan prototipe perangkat
pembelajaran konstruktivis yang valid dari segi isi (content validity)
dan susunan (construct validity). Untuk mencapai hal tersebut peneliti
akan melakukan langkah-langkah berupa: analisis kebutuhan (need assessment),
analisis kurikulum matematika SD, review literatur, serta merancang prototipe
perangkat. Selanjutnya prototipe perangkat yang dihasilkan akan divalidasi
oleh pakar pembelejaran matematika, dan kemudian direvisi sebelum
dimplementasikan.
Pada tahap ke-dua akan
dilakukan implementasi pada tiga kelompok SD di Kota Padang Panjang, yaitu SD
kelompok tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokkan SD akan dilakukan
berdasarkan peringkat sekolah dalam pencapaian nilai Ujian Akhir Sekolah pada
bidang studi Matematika. Implementasi bertujuan untuk memperoleh perangkat
pembelajaran yang praktikal dan efektif. Pada tahap ke-dua ini akan diteliti
apakah perangkat yang dihasilkan dapat digunakan oleh siswa dan guru pada
kondisi sekolah yang berbeda, serta dampak penggunaan perangkat tersebut
terhadap siswa dan guru. Data penelitian pada tahap ini diperoleh melalui
tes hasil belajar, observasi kelas, kuesioner, dan wawancara dengan guru dan
siswa. Selanjutnya hasil belajar kelompok siswa yang menggunakan perangkat
konstruktivis juga akan dibandingkan dengan hasil belajar kelompok siswa yang
menggunakan perangkat pembelajaran konvensional. Observasi kelas, kuesioner,
dan wawancara bertujuan untuk mengetahui dampak penggunaan perangkat terhadap
motivasi siswa dalam belajar matematika.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dukungan Teoritik Pengembangan
Perangkat Pembelajaran
Menurut Degeng (1994) kegiatan
pembelajaran yang baik diawali dengan desain yang benar. Hal ini dimaksudkan
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menetapkan dan
mengembangkan strategi pembelajaran yang optimal untuk mencapai hasil
pembelajaran yang diinginkan. Selanjutnya Degeng menjelaskan bahwa dalam
merancang pembelajaran perlu pengorganisasian isi bahan ajar seperti: penataan
isi, urutan isi, dan pemilihan bahan ajar. Dalam mengembangkan perangkat
pembelajaran harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: (1) dapat membantu
untuk kegiatan pembelajaran secara individu/kelompok, (2) dapat merespon secara
maksimal, (3) memuat pesan secara potensial, (4) mampu memberikan kesempatan
belajar yang diminati, (5) memberikan saran dan petunjuk serta informasi
balikan tentang tingkat kemajuan belajar yang dicapai siswa.
Menurut
Urbach (dalam Asma, 2000) Pengembangan perangkat pembelajaran adalah
seperangkap program pembelajaran berdasarkan pendekatan sistem. Pendekatan
sistem pembelajaran merupakan suatu rentetan peristiwa yang mempengaruhi siswa
agar terjadi proses pembelajaran. Peristiwa tersebut dapat dilakukan oleh siswa
baik secara individu maupun kelompok dengan memanfaatkan sumber belajar yang
ada sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Hasil dari pendekatan
sistem ini diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah pembelajaran secara
efektif dan efisien.
Sehubungan dengan hal di atas,
model yang digunakan dalam pengembangan perangkat pembelajaran matematika SD
ini adalah Model Degeng (1994) yang terdiri
dari delapan langkah sebagai berikut:
1. Analisis Tujuan dan Karakteristik Bidang
Studi
Analisis
tujuan dan karakteristik isi bidang studi perlu dilakukan pada tahap awal
kegiatan perancangan perangkat pembelajaran. Langkah ini dilakukan untuk
mengetahui tujuan pembelajaran apa yang diharapkan. Lebih khusus lagi, untuk mengetahui tujuan
orientatif pembelajaran: apakah faktual, konseptual, prose-dural, ataukah teoritik.
Demikian pula, untuk mengetahui tujuan pendukung yang memudahkan pencapaian
tujuan orientatif tersebut.
Analisis
karakteristik isi bidang studi dilakukan untuk mengetahui tipe isi bidang studi
apa yang akan dipelajari oleh siswa, apakah berupa fakta, konsep, prosedur,
ataukah prinsip. Demikian juga, untuk mengetahui bagai-mana struktur isi bidang
studinya.
2. Analisis Sumber Belajar
(kendala)
Analisis
Sumber Belajar dilakukan segera setelah langkah analisis tujuan dan
karakteristik isi bidang studi. Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui sumber
belajar apa yang tersedia dan dapat dipergunakan untuk menyampaikan isi
pembelajaran. Hasil dari kegiatan ini akan berupa daftar sumber belajar yang
tersedia yang dapat mendukung proses pembelajaran. Sumber belajar terdiri atas
enam macam, yaitu; pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan latar atau
lingkungan (AECT, 1994). Dalam pengembangan ini akan dilakukan identifikasi dan
analisis terhadap sumber belajar apa yang tersedia dan dapat dipergunakan.
3. Analisis Karakteristik Siswa
Analisis
karakteristik siswa dimaksudkan untuk mengetahui ciri-ciri perseorangan siswa,
hal ini dapat dijadikan petunjuk dalam mempersiapkan strategi pengelolaan
pembelajaran. Hasil dari langkah ini akan berupa daftar yang memuat
pengelompokan karakteristik siswa yang
menjadi sasaran pembelajaran.
4. Menetapkan Tujuan Belajar
dan Isi Pembelajaran
Menetapkan tujuan dan isi pembelajaran, pada dasarnya sudah bisa dilakukan
segera setelah melakukan analisis tujuan dan karakteristik isi bidang studi.
Hasil dari langkah ini adalah berupa daftar yang memuat rumusan tujuan khusus
pembelajaran (disebut juga tujuan belajar) dan tipe serta struktur isi
perangkat pembelajaran yang akan dipelajari siswa untuk mencapai tujuan belajar
yang telah ditetapkan.
5. Menetapkan Strategi Pengorganisasian Materi
Menetapkan
strategi pengorganisasian materi segera bisa dilakukan setelah analisis dan
penetapan tipe serta karakteristik materi. Pemilihan strategi pengorganisasian
pembelajaran amat dipengaruhi oleh tipe isi bidang studi yang dipelajari dan
bagaimana struktur materi itu. Hasil dari langkah ini adalah berupa penetapan
model untuk mengorganisasi isi perangkat pembelajaran.
6 Menetapkan Strategi Penyampaian Materi
Pembelajaran
Menetapkan strategi penyampaian isi pembelajaran didasarkan pada hasil
analisis sumber belajar. Seperti telah dikemukan sebelumnya bahwa hasil
analisis sumber belajar akan berupa daftar sumber belajar yang tersedia dan
dapat digunakan dalam proses pembelajaran, pada langkah ini daftar yang telah
dibuat tersebut dijadikan dasar dalam memilih dan menetapkan strategi
penyampaian pembelajaran. Hasil kegiatan dalam langkah ini akan berupa
penetapan model untuk menyampaikan isi pembelajaran.
7. Menetapkan Strategi Pengelolaan Pembelajaran
Menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran
sangat tergantung pada hasil analisis karakteristik siswa yang dibuat ketika
melakukan analisis karakteristik yang dijadikan
dasar dalam memilih dan menetapkan strategi pengelolaan. Hasil kegiatan
dalam langkah ini berupa penetapan penjadualan penggunaan komponen strategi
pengorganisasian dan penyampaian pembe-lajaran, pengelolaan motivasi, pembuatan
catatan tentang kemajuan belajar dan kontrol belajar siswa.
8. Pengembangan Prosedur
Pengukuran Hasil Pembelajaran
Langkah
terakhir adalah melakukan pengukuran hasil pembelajaran, yang mencakup
pengukuran tingkat keefektifan, efisiensi, dan daya tarik pembe-lajaran.
Kegiatan ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan proses pembelajaran dan tes
hasil belajar. Kedelapan langkah tersebut digambarkan dalam diagram 1
ANALISIS
TUJUAN DAN
PENGUKUR-
KARAKTER
AN HASIL
ISTIK ISI
BELAJAR
Gambar 1. Model Desain
Pembelajaran (Degeng, 1994)
Model Degeng dipergunakan
berdasarkan pertimbangan bahwa: (1) model Degeng termasuk model pengembangan
pembelajaran classroom focus yaitu pembelajaran yang di dalamnya
terdapat; guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, (2) dapat dipergunakan untuk
mengembangkan perangkat pembelajaran berorientasi konstruktivisme, (3) dapat
dipergunakan untuk mengembangkan bahan pembelajaran pada kapabilitas belajar
informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap,
keterampilan motorik, (4) dalam pengorganisasian isi pembelajaran menggunakan
teori elaborasi, (5) bersifat preskriptif yang berorientasi pada tujuan dan
pemecahan masalah belajar, (6) memiliki langkah-langkah yang lengkap dan mampu
memberikan arahan detail sampai pada tingkat produk yang jelas (Urbach dalam
Asma, 2000).
B. Pendekatan konstruktivisme
Konstruktivisme adalah
suatu paham yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
serta merta (Steffe, 1991). Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep
atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa perlu dibiasakan untuk
memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut
dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan di benak
mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus
menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan
jika dikehendaki informasi tersebut menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar pemikiran
seperti dijelaskan di atas, pembelajaran harus dikemas menjadi proses
“mengkonstruksi” dan bukan menerima pengetahuan. Agar proses mengkonstruksi
berlangsung optimal diperlukan sarana yang sesuai dan relevan dengan keragaman
siswa, kondisi lingkungan dan tujuan pembelajaran matematika. Paradigma
pembelajaran matematika kontemporer menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran
matematika adalah untuk melatih cara berfikir dan bernalar, mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Sarana
yang utama untuk mencapai tujuan tersebut adalah tersedianya perangkat
pembelajaran yang memungkinkan siswa berlatih untuk berfikir, bernalar,
memecahkan masalah, dan berkomunikasi.
Dalam kelas
konstruktivis, seorang guru tidak mengajarkan kepada siswa bagaimana
menyelesaikan persoalan, tetapi mempresentasikan masalah dan men “encourage”
(mendorong) siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan
masalah (Kamii, 1990). Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk
tidak memberikan penilaian apakah jawabannya benar atau salah. Namun guru
mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju dengan saling bertukar ide
sehingga sampai pada suatu persetujuan tentang apa yang dapat masuk akal siswa.
Selanjutnya Steffe dan
Kieren (1995) menyatakan bahwa dengan pendekatan konstruktivisme, aktifitas
matematika dapat diwujudkan melalui penyajian masalah, kerja berpasangan, atau
dalam kelompok kecil serta diskusi kelas. Jadi dalam pendekatan konstruktivis pembelajaran
harus dirancang dengan pendekatan problem solving, dimana guru dan siswa
terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika.
Pandangan
konstruktivisme tentang pengetahuan didasarkan atas empat prinsip dasar (Fosnot
dalam Santyasa, 2001) sebagai berikut.
Pertama,
pengetahuan terdiri dari “post construction” bahwa manusia mengkonstruksi
pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang
mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalaman-nya.
Fosnot juga mengatakan doktrin Piaget
bahwa struktur-struktur logis itu berkembang analog dengan perkembangan
biologis.
Kedua,
pengkonstruksian pengetahuan itu terjadi melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Manusia menggunakan asimilasi sebagai suatu kerangka logis dalam
rangka menginterpretasikan informasi baru dan dengan akomodasi dalam rangka
memecahkan kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri
yang lebih luas.
Ketiga, mengacu
kepada belajar sebagai suatu proses organik penemuan lebih dari pada proses
mekanik akumulasi. Kaum konstruktivis mengambil suatu posisi bahwa belajar
harus mendapat pengalaman berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek,
mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, berimajinasi, dan menemukan dalam upaya
mengembangkan konstruksi-konstruksi baru. Berdasarkan perspektif ini, tampaknya
sangat diperlukan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan model instruksional
yang bersifat aktif. siswa harus secara aktif membangun pengetahuannya dan guru
berperan sebagai fasilitator dan mediator yang bersifat kreatif dan dinamis.
Keempat, mengacu
kepada mekanisme sehingga perkembangan kognitif dapat berlangsung. Belajar
bermakna terjadi melalui proses replikasi dan resolusi konflik. Konflik
kognitif terjadi hanya jika siswa mengalami ketidakseimbangan antara dua skema
yang kontradiktif. Meskipun pengajar dapat membantu menengahi proses tersebut,
namun perubahan hanya dapat terjadi atas inisiatif siswa.
Sebagai
langkah awal agar model belajar konstruktivisme dapat diimplementasikan dalam
pembelajaran adalah guru hendaknya mengikuti pandangan konstruktivistik. Menurut
Brook (1993) guru konstruktivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menganjurkan dan menerima
otonomi dan inisiatif siswa.
2. Menggunakan perangkat
pembelajaran dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
3. Dalam penyusunan tugas-tugas,
memakai istilah-istilah kognitif, seperti klasifikasi, analisis, ramalkan, dan
ciptakan.
4. Menyertakan respon siswa dalam
rangka pengendalian pelajaran, mengubah strategi pembelajaran, dan mengubah
isi.
5. Menggali pemahaman siswa
tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum sharing
pemahamannya tentang konsep-konsep tersebut.
6. Menyediakan kondisi agar siswa
dapat berdiskusi baik dengan dirinya maupun dengan siswa yang lain.
7. Mendorong sikap inquiry siswa
dengan menanyakan sesuatu yang menuntut berpikir kritis, menggunakan
pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan mendorong siswa agar berdiskusi antar
temannya.
8. Mengelaborasi respon awal siswa.
9. Mengikutsertakan siswa dalam
pengalaman-pengalaman yang dapat menimbul-kan kontradiksi terhadap hipotesis
awal mereka dan kemudian mendorong diskusi.
10. Menyediakan waktu tunggu
setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
11. Menyediakan waktu untuk siswa
dalam rangka mengkonstruksi hubungan-hubungan dan menciptakan analogi atau
kiasan-kiasan (metaphors).
12. Memelihara sikap keingintahuan
alamiah (natural curiosity) siswa melalui peningkatan frekuensi
pemakaian Model Siklus Belajar.
Menurut Solow (1990), untuk dapat mengkomunikasikan
ide-ide matematika dengan baik, siswa dituntut untuk memiliki kreativitas,
intuisi, dan pengalaman. Memiliki intuisi berarti memiliki kemampuan untuk
membuat konjektur yang merupakan bagian yang sangat penting dalam proses
penalaran matematika. Sedangkan memiliki kreativitas berarti memiliki kemampuan
untuk menyatakan persoalan dalam berbagai model yang operasional (Ervynck,
1991).
Para
ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi aktif
dari pemaknaan, bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Setiap tahap dari
pembelajaran matematika hendaklah berorientasi pada suatu proses investigasi
atau pencarian. Oleh sebab itu, guru perlu menyediakan lingkungan belajar
dimana siswa dapat menguasai konsep dasar, keterampilan algoritma, proses
heuristik, dan kebiasaan bekerjasama (Cobb, 1992).
Mengacu
pada ciri-ciri guru yang konstruktivis dan esensi dari pembelajaran matematika
yang konstruktivis, perlu dipilih model-model pembelajaran yang memungkinkan
siswa berlatih mengembangkan kemampuan pemahaman, penalaran, komunikasi, dan
pemecahan masalah. Model pembelajaran yang dilandasi teori konstruktivis
diantaranya adalah: model pembelajaran kooperatif (cooperatif learning),
model pembelajaran berbasis masalah (problem based instruction), dan
model pembelajaran langsung (direct instruction). Berikut ini dijelaskan
tinjauan teoritis masing-masing model pembelajaran tersebut.
a. Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif
dikembangkan untuk mencapai paling tidak tiga tujuan pembelajaran yaitu hasil
belajar, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (Corebima,
2002). Putra (2003) mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif mempunyai
beberapa kelebihan dalam mengembangkan potensi siswa, diantaranya: adanya
hubungan saling menguntungkan antar anggota kelompok, berkembangnya semangat
kerjasama, dan adanya semangat kompetisi yang sehat antar anggota kelompok dan
antar kelompok. Oleh sebab itu penerapan model ini dapat mengembangkan potensi
siswa secara efektif.
Menurut Arends (1998)
model pembelajaran kooperatif terdiri dari enam fase, fase tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Sintaks
Model Pembelajaran Kooperatif
Fase
|
Peran Guru
|
Fase 1, Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
|
Guru menyampaikan semua tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi
siswa belajar.
|
Fase 2, Menyampaikan informasi
|
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi
atau lewat bahan bacaan.
|
Fase 3, Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok
agar melakukan transisi secara efisien.
|
Fase 4,
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
|
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas mereka.
|
Fase 5,
Evaluasi
|
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah
dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
|
Fase 6,
Memberikan penghargaan
|
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok.
|
Terdapat beberapa variasi pendekatan dari model
pembelajaran kooperatif, yaitu; (i) Student Teams Achievement Division (STAD),
(ii) Jigsaw, (iii) Grup Investigasi, dan (iv) Pendekatan Struktural. Jenis
pendekatan yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik materi, keadaan
siswa, dan lingkungan.
b. Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berdasarkan masalah
bercirikan penggunaan masalah dunia nyata. Model ini dapat digunakan untuk
melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah,
serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting. Pendekatan pembelajaran
ini mengutamakan proses belajar, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk
membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan
masalah penggunaannya pada tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam situasi
berorientasi pada masalah, termasuk bagaimana belajar (Arends, 1998). Pendapat
ini senada dengan temuan hasil penelitian Adams, dkk (dalam Slavin, 1994) bahwa
penggabungan keterampilan berpikir dengan pembelajaran dalam bidang kajian
tertentu, hasilnya memberikan harapan yang lebih baik.
Pembelajaran berdasarkan masalah
merupakan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis, sebab disini guru
berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, pemberi fasilitas
penelitian, menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan
pertumbuhan inkuiri dan intelektual siswa. Prinsip utama pendekatan
konstruktivis adalah pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara
aktif oleh individu. Hasil penelitian Carpenter dan Fenema (dalam Slavin, 1994:
284) menunjukkan adanya pengaruh positif pendekatan konstruktivis terhadap
variabel hasil belajar konvensional dalam matematika.
Pembelajaran berdasarkan masalah hanya
dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan
membimbing pertukaran gagasan (Arends, 1998). Untuk itu perlu didukung oleh
sumber belajar yang memadai bagi siswa, alat-alat untuk menguji jawaban atau
dugaan, perlengkapan kurikulum, tersedianya waktu yang cukup, serta kemampuan
guru dalam mengangkat dan merumuskan masalah (Sujana, 1989) agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai.
Salah satu sarana belajar yang berperan
penting dalam pencapaian tujuan pembelajaran adalah tersedianya perangkat
pembelajaran. Hasil penelitian Sinaga (1999) menyatakan bahwa perangkat
pembelajaran berdasarkan masalah dengan bahan kajian fungsi kuadrat untuk SMU
mampu mengurangi dominasi guru dalam pembelajaran dan mampu mengaktifkan siswa
dalam belajar. Juga ditemukan bahwa kemampuan guru dalam mengelola model
pembelajaran berdasarkan masalah cukup baik, dan sebagian besar siswa yang
mengikuti pembelajaran ini memberikan respon senang dan berminat mengikuti
pembelajaran berikutnya.
Hasil penelitian Terry Wood dan
Patricia Sellers (dalam Arends, 1998) menunjukkan bahwa hasil belajar siswa
dengan pembelajaran berpusat pada masalah ada pada tingkat yang baik.
Perbandingan antara hasil belajar siswa dengan pembelajaran berpusat pada
masalah lebih tinggi secara signifikan dari siswa yang belajar dengan algoritma
tradisonal.
Menurut Arends (1998) pelaksanaan model
pembelajaran berdasarkan masalah meliputi lima tahapan. Kelima tahapan tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase
|
Peran Guru
|
Fase 1,
Orientasi siswa pada masalah
|
Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat dalam
aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan masalah
|
Fase 2,
Mengorganisasi siswa
|
Pada tahap ini guru membagi siswa ke dalam kelompok,
membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah.
|
Fase 3,
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
|
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
|
Fase 4,
Mengembangkan dan menyajikan
hasil karya
|
Pada tahap ini guru membantu
siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,
video, dan model serta membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
|
Fase 5,
Mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Pada tahap ini guru membantu siswa untuk melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka
gunakan.
|
c. Model Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung dirancang untuk mengembangkan
kemampuan siswa untuk mempelajari pengetahuan prosedural dan pengetahuan
deklaratif yang terstruktur dengan baik yang dapat dipelajari selangkah demi
selangkah (Kardi, 2001). Arends (1998) mengemukakan bahwa teori belajar yang
paling banyak sumbangannya pada model pembelajaran langsung adalah teori
belajar sosial, yang juga disebut belajar melalui observasi, atau lebih dikenal
dengan teori pemodelan tingkah laku (behavioral modeling theory).
Pakar pemodelan tingkah laku yakin bahwa sesuatu telah
dipelajari jika pengamat memperhatikan dengan sadar beberapa tingkah laku dan
kemudian menyimpannya dalam ingatan jangka panjang. Bandura (1977) menyatakan
teori pemodelan tingkah laku merupakan suatu proses yang terdiri dari tiga
tahap yaitu; atensi, retensi, dan produksi. Dengan memberi penekanan dan
perhatian pada ketiga tahap tersebut diharapkan siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuannya di bawah bimbingan guru.
Pembelajaran langsung adalah suatu pendekatan mengajar
yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh
informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah (Kardi, 2000).
Pengajaran langsung memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang cukup rinci
terutama pada analisis tugas, dan keterlibatan siswa secara aktif di kelas.
Kardi (2000) menjelaskan ciri-ciri pengajaran langsung
sebagai berikut: (i) Adanya tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil
belajar. (ii) Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran.
(iii) Sistem pengelolaan dan lingkungan yang mendukung berlangsung dan
berhasilnya pembelajaran. Jadi, ciri penting pembelajaran langsung terletak
pada presentasi dan demonstrasi yang jelas dari materi belajar, analisis tugas,
dan tujuan.
Pada model pembelajaran langsung terdapat lima fase yang
harus dilalui, fase ini disebut dengan sintaks model pembelajaran langsung,
seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Sintaks Model Pembelajaran Langsung
No
|
Fase
|
Peran Guru
|
1
|
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan
siswa
|
Menjelaskan tujuan pembelajaran, memberi
informasi latar belakang topik, mempersiapkan siswa untuk belajar.
|
2
|
Mendemonstrasikan pengetahuan/keterampilan
|
Mendemonstasikan pengetahuan/
keterampilan, atau menyajikan informasi tahap demi tahap.
|
3
|
Membimbing pelatihan
|
Merencanakan dan memberikan bimbingan pelatihan.
|
4
|
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
|
Mengecek apakah siswa sudah melakukan tugas dengan baik, dan
memberikan umpan balik.
|
5
|
Memberikan kesempatan untuk pelatihan
lanjutan dan penerapan
|
Mempersiapan kesempatan melakukan
pelatihan lanjutan (perhatian penerapan pada situasi yang lebih kompleks)
|
(Arends, 1998)
Dari sintaks pembelajaran
langsung di atas terlihat peran aktif guru dalam pembelajaran, peran guru lebih
diarahkan pada kemampuan siswa untuk mampu mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya. Jadi, dalam pembelajaran langsung ini guru berperan sebagai
pemberi informasi, pengaju pertanyaan, pemberi petunjuk (hint), serta
pengaju masalah berbeda baik sebagai pembanding maupun untuk keperluan
pengembangan.
C. Pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran konvensional
menekankan kepada guru sebagai pusat informasi dan siswa sebagai penerima
informasi. Dengan pola seperti ini mengakibatkan tahap-tahap yang terdapat
dalam pembelajaran konvensional berlawanan dengan model pembelajaran
berorientasi konstruktivisme. Abraham dan Renher (1986: 112)
mengemukakan bahwa:
In traditional models the students are first informed of what they are expected to know. The informing is
accomplished via textbook, a motionpicture, a teacher or some other type of
media. Next, some type of proof is offered to the students in order for them to
verify that what they have been told or shown is true.
Finally, the students answer question or enggage insome other from practice with the new information.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tahap-tahap yang dilalui
dalam pembelajaran konvensional adalah informed-verify-practice.
Hasil pengamatan peneliti menunjukkan
bahwa pembelajaran yang dilakukan di kelas berorientasi pada tahap-tahap pembukaan-penyajian-penutup.
Pada kegiatan pembelajaran ini, guru cenderung menggunakan metode ceramah
dengan sedikit disertai tanya jawab. Guru berusaha memindahkan atau mengkopikan
pengetahuan yang ia miliki kepada siswa. Keadaan ini cenderung membuat siswa
pasif dalam menerima pelajaran dari guru. Kegiatan pembelajaran yang tergambar
di atas merupakan kegiatan pembelajaran yang bertentangan dengan ide yang
dilontarkan Vigotsky (dalam Slavin, 1994: 48) berupa scaffolding yaitu pemberian bantuan sebanyak-banyaknya kepada seorang
anak selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan tersebut
dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan model pembelajaran konvensional atau konvensional adalah
pembelajaran yang dilakukan oleh guru sehari-hari di kelas.
D. Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang
dikemukakan pada Bab I dan kajian teori yang di atas, hipotesis penelitian yang
diajukan adalah sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan hasil belajar siswa
kelompok tinggi yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model pembelajaran kooperatif, PBI, dan
pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
2. Terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelompok
sedang yang menggunakan perangkat
pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran
kooperatif, PBI, dan pembelajaran
langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
3. Terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelompok
rendah yang menggunakan perangkat
pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan model pembelajaran
kooperatif, PBI, dan pembelajaran
langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
4. Terdapat perbedaan motivasi belajar siswa
kelompok tinggi yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model pembelajaran kooperatif, PBI, dan
pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
5. Terdapat perbedaan motivasi belajar siswa
kelompok sedang yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model pembelajaran kooperatif, PBI, dan
pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran
konvensional
6. Terdapat perbedaan motivasi belajar siswa
kelompok rendah yang menggunakan
perangkat pembelajaran matematika berorientasi konstruktivisme dengan
model pembelajaran kooperatif, PBI, dan
pembelajaran langsung, dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
BAB
III
METODE PENELITIAN
A.
Disain Penelitian
Disain penelitian
yang digunakan adalah penelitian pengembangan (developmental research). Disain
ini dipandang sangat sesuai untuk kegiatan penelitian yang bertujuan untuk
menghasilkan suatu produk yang valid, praktikal, dan efektif.
Sehubungan dengan produk yang dihasilkan yaitu berupa perangkat pembelajaran,
maka kegiatan penelitian dibagi atas dua tahap, yaitu; (i) tahap penyusunan
prototipe perangkat yang valid, dan (ii) tahap implementasi, yang bertujuan
untuk melihat praktikabilitas dan efektifitas perangkat pembelajaran yang
dihasilkan.
a. Disain Penelitian Tahap I
Fokus
penelitian pada tahap I adalah dihasilkannya prototipe perangkat pembelajaran
berorientasi konstruktivis yang valid dari segi isi (content) dan susunan
(construct). Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap penyusunan prototipe
perangkat yang valid adalah sebagai berikut; (i) analisis kebutuhan (need
assesment), (ii) review literatur, (iii) merancang prototipe, (iv) validasi pakar pembelajaran matematika,
dan (v) revisi dan evaluasi prototipe.
Analisis
kebutuhan dilakukan dengan cara observasi lapangan, wawancara dengan guru
matematika dan siswa SD, dan menelaah kurikulum matematika yang sedang
digunakan saat ini. Selanjutnya peneliti melakukan review literatur yang
relevan. Berikutnya, berdasarkan analisis kebutuhan dan review literatur
peneliti bersama-sama guru SD merancang prototipe perangkat pembelajaran dengan
mengacu kepada model Degeng (1994), tentang langkah-langkah pengembangan
perangkat (lihat kajian teori), dan Brook (1993) tentang ciri-ciri pendekatan
konstruktivis (lihat kajian teori). Prototipe perangkat yang didisain mencakup
topik matematika yang akan diajarkan pada semester I kelas V SD. Model
pembelajaran yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik topik dan jumlah
waktu yang tersedia untuk setiap topik.
Selanjutnya
prototipe yang dihasilkan divalidasikan kepada seorang pakar pembelajaran
matematika dan enam orang guru matematika SD. Kegiatan validasi difokuskan
untuk menguji validitas isi dan validitas susunan. Validitas isi mengacu kepada
pada kesesuaian materi dalam perangkat dengan kurikulum, sedangkan validitas
susunan merujuk pada kesesuaian susunan perangkat dengan kriteria yang
diharapkan yaitu; tahap-tahap pengembangan perangkat model Degeng dan pendekatan pembelajaran konstruktivis.
b. Disain Penelitian Tahap II
Kegiatan penelitian tahap II
merupakan implementasi dari prototipe perangkat yang dihasilkan. Tujuan
penelitian difokuskan untuk memperoleh perangkat pembelajaran yang praktikal
dan efektif. Kriteria yang digunakan untuk menilai praktikabilitas
perangkat pembelajaran adalah keterpakaian dan keterlaksanaan. Keterpakaian
artinya, guru dan siswa dapat menggunakan perangkat yang dibuat, sedangkan
keterlaksanaan mengacu pada bahwa perangkat dapat digunakan guru untuk
menyampaikan topik-topik matematika dalam kondisi proses belajar-mengajar
matematika yang normal.
Sebelum
proses implementasi, guru yang ikut
meneliti diberikan pelatihan terlebih dahulu. Kegiatan uji coba dan
implementasi dilakukan bersamaan. Artinya, selama masa implementasi perangkat
pembelajaran, peneliti tetap melakukan revisi (perbaikan) perangkat
pembelajaran berdasarkan data observasi kelas dan wawancara dengan guru dan
siswa, serta pencapaian kriteria keterpakaian dan keterlaksanaan prototipe
perangkat pembelajaran.
Selanjutnya
efektifitas penggunaan prototipe perangkat pembelajaran, dilihat melalui tes
hasil belajar. Perangkat pembelajaran dikatakan efektif jika dapat memberikan
dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Dampak positif penggunaan
perangkat pembelajaran terhadap hasil belajar siswa dilihat dengan
membandingkan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan perangkat
pembelajaran yang berorientasi konstruktivis dengan kelompok siswa yang
menggunakan perangkat konvensional pada masing-masing kelompok sekolah (tinggi,
sedang, rendah). Proses penelitian pada pada masing-masing kelompok sekolah
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Rancangan Penelitian
Untuk Menyeleidiki Efektifitas Penggunaan
Perangkat
Level Sekolah
|
Penggunaan Perangka Pembelajaran Matematika Berorientasi
Konstruktivisme dengan Model Pembelajaran:
|
Pembelajaran Matematika Secara:
|
Tinggi
|
Kooperatif
|
PBI
|
Langsung
|
Konvensional
|
Sedang
|
Kooperatif
|
PBI
|
Langsung
|
Konvensional
|
Rendah
|
Kooperatif
|
PBI
|
Langsung
|
Konvensional
|
Secara ringkas, bagan alir kegiatan
penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2. Bagan alir kegiatan penelitian
|
|
|
|
Analisis Kebutuhan
§
Wawancara
dengan guru dan siswa
§
Analisis
kurikulum
§
Reviu
literatur
|
|
|
|
|
B.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas V SD Negeri di Kota Padang Panjang. Karena penelitian ini
melibatkan tiga SD Negeri yang masing-masing mewakili peringkat tinggi, sedang,
dan rendah, maka sampel diambil dengan teknik “stratified random
sampling”. Langkah-langkah proses
sampling yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.
Membagi SDN Kota Padang Panjang
atas tiga kelompok peringkat (tinggi,
sedang, dan rendah) berdasarkan UASBN Matematika SD pada tahun pelajaran 2008/2009.
2.
Mengambil
secara acak satu sekolah sampel dari masing-masing peringkat.
3.
Mengumpulkan
nilai rapor terakhir siswa kelas V pada masing-masing kelas sampel.
4.
Melakukan uji normalitas. Berdasarkan
hasil pengujian ternyata semua kelompok data berdistribusi normal.
5.
Melakukan uji homogenitas
variansi. Berdasarkan hasil pengujian ternyata semua kelompok data mempunyai
variansi yang homogen. Melakukan uji kesamaan rata-rata pada ketiga kelompok
data, hasilnya ketiga kelompok data tidak mempunyai perbedaan rata-rata yang
berarti pada α = 0,05.
6.
Mengambil secara acak 2 lokal
sebagai kelas sampel pada masing-masing sekolah sampel.
C. Data dan Instrumen Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian adalah sebagai berikut
- Data hasil validasi perangkat pembelajaran
- Data hasil wawancara dengan guru dan siswa
- Data hasil belajar matematika siswa untuk setiap level sekolah dan
kelompok siswa, dan
- Data motivasi belajar siswa pada setiap level sekolah dan kelompok
siswa
Inatrumen yang digunakan untuk pengumpulan data
adalah sebagai berikut:
- Lembar validasi, untuk mengumpulkan data hasil validasi
perangkat pembelajaran
- Pedoman wawancara, digunakan
untuk mengumpulkan data pendapat siswa, dan guru mengenai perangkat
pembelajaran konstruktivis
- Lembar observasi, untuk
mengumpulkan data tentang efektifitas
pembelajaran, terutama keterpakaian dan keterlaksanaan dari
perangkat yang disusun
- Angket motivasi, untuk
memperoleh data motivasi belajar siswa
- Tes hasil belajar matematika,
dalam bentuk esaay dan focus pada pemecahan masalah, penalaran, dna
komunikasi. Tes diperlukan untuk mengkaji efektifitas penggunaan perangkat
pada setiap level sekolah dan setiap kelompok siswa.
D.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh
dari observasi kelas, wawancara, dan angket akan ditabulasi, dideskripsikan,
dan dianalisis saecara dsekriptif kualitatif sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan. Data yang diperoleh melalui tes hasil belajar dan tes motivasi dianalisis
dengan ANAVA satu arah.